Redaksi Pewarta.co.id
Rabu, Desember 17, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
| Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo. |
PEWARTA.CO.ID — Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengingatkan bahwa perekonomian global masih berada dalam tekanan ketidakpastian yang tinggi dan berisiko melemah pada 2026, meski dalam jangka pendek menunjukkan sinyal perbaikan.
Menurut Perry, kinerja ekonomi dunia sepanjang 2025 diperkirakan tumbuh di kisaran 3,2 persen. Pertumbuhan ini ditopang oleh penguatan aktivitas ekonomi di Jepang dan India, terutama dari sisi konsumsi rumah tangga serta stimulus fiskal. Selain itu, kawasan Eropa juga mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Namun, kondisi tersebut tidak sepenuhnya merata. Dua kekuatan ekonomi terbesar dunia, Amerika Serikat dan Tiongkok, justru menghadapi tantangan yang cukup serius.
“Ekonomi Amerika Serikat pada 2025 ini masih melambat dipengaruhi dampak temporari government shutdown dan pelemahan pasar tenaga kerja. Prospek ekonomi Tiongkok juga terus melambat dipengaruhi permintaan domestik yang tetap lemah,” ujar Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI, Rabu (17/12/2025).
Proyeksi ekonomi global 2026 melandai
Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2026 akan turun menjadi sekitar 3 persen. Pelemahan ini antara lain dipengaruhi oleh dampak lanjutan kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat serta meningkatnya kerentanan pada rantai pasok global.
Kondisi tersebut dinilai berpotensi menekan aktivitas perdagangan dan investasi lintas negara, terutama bagi negara-negara berkembang yang masih bergantung pada stabilitas ekonomi global.
Dinamika suku bunga dan pasar keuangan AS
Dari sisi pasar keuangan, Perry mencatat bahwa bank sentral Amerika Serikat telah menurunkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin pada Desember 2025. Meski demikian, ruang penurunan suku bunga ke depan diperkirakan akan semakin terbatas.
Di pasar obligasi, imbal hasil US Treasury tenor dua tahun cenderung meningkat, sementara yield tenor 10 tahun masih bertahan di level tinggi. Kondisi ini dipengaruhi oleh besarnya beban utang pemerintah Amerika Serikat yang menjadi perhatian pelaku pasar global.
Dolar AS masih kuat, modal asing terbatas
Dinamika ekonomi dan keuangan di Amerika Serikat tersebut turut menjaga kekuatan dolar AS. Indeks dolar (DXY) tercatat masih berada di level tinggi, yang berdampak pada terbatasnya aliran modal ke negara berkembang.
“Perkembangan ini menyebabkan indeks mata uang dolar AS (DXY) masih tetap tinggi dan masih tetap terbatasnya aliran masuk modal asing ke emerging market,” ungkap Perry.
BI tekankan kewaspadaan kebijakan
Menutup pemaparannya, Gubernur BI menegaskan pentingnya sikap waspada terhadap perkembangan dan kebijakan global agar stabilitas serta pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga.
“Ke depan, ketidakpastian perekonomian global diperkirakan tetap tinggi dengan prospek pertumbuhan ekonomi dunia yang masih lemah. Kondisi tersebut memerlukan kewaspadaan dan pengamatan respons kebijakan untuk memperkuat daya tahan ekonomi domestik dari dampak pelambatan global serta untuk mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi di dalam negeri,” pungkasnya.
Sejalan dengan asesmen tersebut, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung pada 16–17 Desember 2025 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan BI Rate di level 4,75 persen. Suku bunga Deposit Facility tetap sebesar 3,75 persen, sementara Lending Facility dipertahankan di angka 5,5 persen.
Langkah ini dinilai konsisten dengan strategi BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian global yang masih tinggi, sekaligus memperkuat ketahanan ekonomi nasional.



















































