Warga Palestina Rayakan Natal di Tengah Serangan Militer Israel

5 hours ago 7

Redaksi Pewarta.co.id

Redaksi Pewarta.co.id

Kamis, Desember 25, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

Warga Palestina Rayakan Natal di Tengah Serangan Militer Israel
Warga Palestina Rayakan Natal di Tengah Serangan Militer Israel. (Foto: Dok. Al Jazeera)

PEWARTA.CO.ID — Setelah dua tahun tanpa perayaan publik, ribuan warga Palestina akhirnya kembali memadati Kota Betlehem untuk merayakan Malam Natal.

Momentum ini menjadi perayaan Natal terbuka pertama sejak 2022, setelah sebelumnya dibatalkan sebagai bentuk penghormatan atas ribuan korban tewas akibat perang genosida Israel di Gaza.

Perayaan tersebut berlangsung di tengah situasi keamanan yang masih mencekam. Serangan militer Israel, penggerebekan rutin, serta pembatasan pergerakan warga Palestina di Tepi Barat tetap terjadi, bahkan ketika suasana Natal mulai terasa di kota kelahiran Yesus itu.

Mengutip laporan Al Jazeera, Kamis (25/12/2025), Lapangan Manger kembali dipenuhi keluarga-keluarga Palestina. Pohon Natal raksasa berdiri megah di pusat kota, menggantikan instalasi kelahiran Yesus yang sebelumnya dipasang selama masa perang, sebuah simbol bayi Yesus di antara puing-puing dan kawat berduri yang merefleksikan kehancuran di Gaza.

Prosesi Natal dipimpin oleh Kardinal Pierbattista Pizzaballa, pemimpin tertinggi Katolik di Tanah Suci. Ia tiba di Betlehem dari Yerusalem dalam iring-iringan tradisional Natal. Dalam pesannya, ia menyampaikan harapan kepada umat yang hadir. "Natal yang penuh cahaya," serunya.

Pawai pramuka dari berbagai kota di Tepi Barat turut memeriahkan suasana. Mereka berbaris menyusuri jalan-jalan Betlehem, memainkan bagpipe yang dihiasi kain tartan dan bendera Palestina, menghadirkan nuansa perayaan yang telah lama dirindukan warga setempat.

Namun, di balik kemeriahan tersebut, bayang-bayang konflik masih terasa kuat. Sejak dimulainya perang genosida Israel di Gaza, pasukan Israel hampir setiap hari melakukan penggerebekan di wilayah Tepi Barat. Ribuan warga Palestina ditangkap, sementara akses antar kota diperketat melalui penutupan jalan dan pos pemeriksaan.

Kondisi ini berdampak langsung pada sektor pariwisata Betlehem, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi kota. Kehadiran wisatawan asing menurun drastis, membuat sebagian besar peserta perayaan kali ini hanyalah warga lokal.

Wali Kota Betlehem, Maher Nicola Canawati, awal bulan ini mengungkapkan dampak ekonomi yang kian parah. Tingkat pengangguran melonjak tajam dari 14 persen menjadi 65 persen sejak perang di Gaza pecah. Ia juga menyebut sekitar 4.000 warga terpaksa meninggalkan Betlehem demi mencari pekerjaan di tempat lain.

Perayaan di tengah tekanan agresi

Kembalinya perayaan Natal di Palestina tidak serta-merta menandai membaiknya situasi keamanan. Di seluruh Tepi Barat yang diduduki, penggerebekan militer Israel dan operasi berskala besar masih berlangsung. Bahkan setelah gencatan senjata yang rapuh di Gaza diberlakukan pada Oktober, pelanggaran tetap terjadi berulang kali.

Penggerebekan tersebut kerap diiringi penangkapan massal, penggeledahan rumah, perusakan properti, hingga kekerasan fisik yang dalam sejumlah kasus berujung pada kematian warga Palestina.

Selain itu, serangan pemukim Israel terhadap warga Palestina mencapai level tertinggi sejak kantor kemanusiaan PBB mulai mendokumentasikan data pada 2006. Bentuk serangan meliputi pembunuhan, pemukulan, serta perusakan rumah dan lahan, yang sering kali terjadi di bawah perlindungan militer Israel.

Pada Rabu sebelumnya, kantor berita Palestina Wafa melaporkan lebih dari 570 pemukim Israel memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki dengan pengawalan ketat polisi.

Warga Palestina menilai tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap status quo lama yang mengatur situs tersuci ketiga umat Islam itu.

Di sisi lain, kabinet keamanan Israel juga menyetujui rencana untuk melegalkan 19 permukiman ilegal di Tepi Barat. Langkah ini menuai kecaman keras dari otoritas Palestina, yang menilai kebijakan tersebut sebagai kelanjutan perampasan tanah dan rekayasa demografis yang telah berlangsung puluhan tahun.

Sejumlah negara Barat pun angkat suara. Inggris, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain menyatakan penolakan terhadap rencana tersebut. Dalam pernyataan bersama yang dirilis oleh Inggris, Belgia, Denmark, Prancis, Italia, Islandia, Irlandia, Jepang, Malta, Belanda, Norwegia, dan Spanyol, ditegaskan sikap mereka terhadap kebijakan Israel.

“Kami menyerukan Israel untuk membatalkan keputusan ini, serta perluasan pemukiman,” bunyi pernyataan tersebut.

“Kami mengingatkan tindakan sepihak seperti itu, sebagai bagian dari intensifikasi kebijakan pemukiman yang lebih luas di Tepi Barat, tidak hanya melanggar hukum internasional tetapi juga berisiko memicu ketidakstabilan,” lanjut pernyataan bersama itu.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |