Israel Setujui Tahap Awal RUU Hukuman Mati bagi Tahanan Palestina, Dapat Kecaman Keras Amnesty International

2 days ago 19

Redaksi Pewarta.co.id

Redaksi Pewarta.co.id

Rabu, November 12, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

Israel Setujui Tahap Awal RUU Hukuman Mati bagi Tahanan Palestina, Dapat Kecaman Keras Amnesty International
Israel Setujui Tahap Awal RUU Hukuman Mati bagi Tahanan Palestina, Dapat Kecaman Keras Amnesty International

PEWARTA.CO.ID — Keputusan kontroversial datang dari Parlemen Israel setelah menyetujui pembacaan pertama Rancangan Undang-Undang (RUU) yang membuka jalan bagi penerapan hukuman mati terhadap tahanan Palestina yang dituduh melakukan aksi teror.

Langkah ini diajukan oleh Menteri Keamanan Nasional Israel dari kubu sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, dan disetujui dengan perbandingan suara 39 mendukung dan 16 menolak dari total 120 anggota parlemen Knesset pada Senin (10/11/2025).

Keputusan ini juga menandakan adanya dukungan politik kuat dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

Menurut laporan The Times of Israel, RUU tersebut menetapkan bahwa hukuman mati akan dijatuhkan kepada siapa pun yang membunuh warga Israel dengan motif “rasial” atau bertujuan “merugikan Negara Israel dan kebangkitan bangsa Yahudi di tanahnya”.

Namun, kalangan pengamat menilai redaksi hukum tersebut membuka ruang diskriminasi karena dalam praktiknya akan lebih banyak diterapkan kepada warga Palestina yang dituduh menyerang warga Yahudi, bukan terhadap ekstremis Yahudi yang melakukan kekerasan terhadap warga Palestina.

Amnesty International mengecam keras

Organisasi Amnesty International langsung mengecam keputusan tersebut. Dalam pernyataannya, lembaga HAM global itu menyebut langkah Israel sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan.

"Tidak ada yang bisa disamarkan; mayoritas dari 39 anggota Knesset Israel menyetujui dalam pembacaan pertama sebuah rancangan undang-undang yang secara efektif mengamanatkan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati secara eksklusif terhadap warga Palestina," kata Erika Guevara Rosas, direktur senior Amnesty untuk penelitian, advokasi, kebijakan, dan kampanye.

Guevara Rosas juga menegaskan bahwa hukuman mati “tidak boleh dijatuhkan dalam keadaan apa pun, apalagi dijadikan senjata sebagai alat diskriminatif yang terang-terangan untuk pembunuhan, dominasi, dan penindasan yang disahkan negara.”

Ia menyebut langkah parlemen Israel ini sebagai “langkah mundur yang berbahaya dan dramatis serta merupakan produk dari impunitas yang berkelanjutan terhadap sistem apartheid Israel dan genosidanya di Gaza.”

RUU ini masih harus melalui dua tahapan pembacaan lagi sebelum resmi disahkan menjadi undang-undang. Sementara itu, pernyataan resmi dari Komite Keamanan Nasional Israel menyebut tujuan aturan ini adalah untuk “memutus terorisme dari akarnya dan menciptakan pencegahan yang kuat.”

Ben-Gvir sebut “momen bersejarah”, namun dikecam banyak pihak

Usai pemungutan suara, Ben-Gvir menyebut hasil tersebut sebagai pencapaian besar. Melalui unggahan di media sosial, ia mengatakan partainya, Jewish Power, sedang “menciptakan sejarah.”

Namun, sejumlah kelompok hak asasi manusia mengecam keras dorongan Ben-Gvir yang dianggap memperkuat diskriminasi sistemik terhadap warga Palestina.

Mereka menilai kebijakan ini akan memperburuk ketegangan dan memperdalam luka sosial yang telah lama terjadi di wilayah konflik.

Padahal, secara hukum, Israel selama ini dikenal sebagai negara abolisionis de facto, karena hukuman mati jarang diterapkan.

Terakhir kali negara itu mengeksekusi seseorang adalah pada tahun 1962, terhadap Adolf Eichmann, arsitek Holocaust Nazi.

Ditentang komunitas internasional dan Palestina

Pemungutan suara kontroversial ini dilakukan di tengah masa gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat untuk menghentikan perang di Gaza. Namun, Israel dituding melanggar kesepakatan tersebut karena tetap melakukan serangan udara di wilayah itu.

Selain itu, serangan mematikan oleh militer dan pemukim Yahudi terhadap warga Palestina di Tepi Barat juga terus berlanjut, meski status gencatan senjata masih berlaku.

Menanggapi langkah parlemen Israel, otoritas Palestina menilai RUU ini menunjukkan “wajah fasis pendudukan Zionis yang brutal dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.”

Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina menyebut rancangan hukum tersebut sebagai “bentuk baru eskalasi ekstremisme dan kriminalitas Israel terhadap rakyat Palestina.”

Tahanan Palestina masih alami penyiksaan dan penelantaran

Menurut laporan berbagai lembaga HAM, lebih dari 10.000 warga Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak, kini mendekam di penjara-penjara Israel.

Banyak dari mereka dikabarkan menjadi korban penyiksaan, kelaparan, serta penelantaran medis yang menyebabkan kematian di balik jeruji besi.

Kelompok HAM menilai, disahkannya RUU hukuman mati ini akan semakin menjustifikasi tindakan kekerasan sistematis Israel terhadap tahanan Palestina di bawah dalih “penegakan hukum”.

Jika RUU ini akhirnya lolos dalam pembacaan kedua dan ketiga, Israel akan mencatat sejarah baru, namun bukan sebagai pencapaian hukum, melainkan sebagai negara demokrasi yang kembali menghidupkan praktik hukuman mati dalam konteks politik dan rasial.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |