Redaksi Pewarta.co.id
Kamis, Oktober 02, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
5 Cara Asyik Mendisiplinkan Remaja Tanpa Harus Memberi Hukuman |
PEWARTA.CO.ID — Banyak orangtua masih mengandalkan ancaman hukuman untuk membuat anak remajanya disiplin. Gawai disita, izin bermain dicabut, hingga dikurung di kamar menjadi cara yang kerap dipilih. Namun, strategi tersebut sering kali tak membuahkan hasil.
Alih-alih menurut, remaja zaman sekarang justru menunjukkan sikap acuh atau bahkan melanggar aturan yang diberlakukan. Fenomena ini bukan tanpa alasan.
Masa remaja adalah periode perkembangan otak yang unik. Pada fase ini, sistem penguatan imbalan (ventral striatum) berkembang lebih cepat daripada sistem kontrol (prefrontal cortex) yang berfungsi mengatur impuls dan memperkirakan konsekuensi jangka panjang.
Ketidakseimbangan inilah yang membuat remaja lebih termotivasi oleh pengaruh teman sebaya dibanding ancaman hukuman dari orangtua. Ancaman yang bersifat abstrak justru kehilangan makna, sebab fokus remaja lebih banyak tertuju pada masalah sosial yang mereka hadapi.
Sejumlah studi pun memperlihatkan bahwa hukuman keras, baik verbal maupun fisik, berdampak negatif. Alih-alih memperbaiki perilaku, hukuman bisa memicu konflik, menurunkan kualitas hubungan orangtua dan anak, serta melemahkan internalisasi moral.
Lantas, bagaimana cara yang lebih efektif mendisiplinkan remaja? Berikut lima strategi yang bisa diterapkan:
1. Terapkan pola asuh Authoritative
Parenting authoritative mengombinasikan batasan yang jelas dengan penjelasan yang responsif.
Orangtua perlu bersikap tegas pada hal-hal yang tak bisa ditawar, seperti pendidikan dan keselamatan. Namun, setiap aturan harus diiringi penjelasan yang logis dan relevan.
Tak kalah penting, orangtua juga perlu mendengarkan pandangan anak, agar mereka merasa diperlakukan secara adil.
2. Ganti hukuman dengan konsekuensi logis
Alih-alih menghukum, terapkan konsekuensi yang logis dan berkaitan langsung dengan pilihan anak. Misalnya, jika mereka tidur terlalu larut, konsekuensinya adalah harus bangun lebih awal keesokan harinya. Dengan begitu, remaja belajar memahami akibat dari tindakannya. Konsekuensi yang konsisten dan rasional terbukti lebih efektif dibanding hukuman sewenang-wenang.
3. Apresiasi perilaku positif
![]() |
Ilustrasi. |
Memberikan penghargaan sederhana atas sikap positif anak bisa menumbuhkan kebiasaan baik. Pujian atau reward kecil—tanpa berlebihan—akan lebih membekas daripada fokus pada kesalahan mereka.
Dikutip dari Times of India (30/9/2025), apresiasi semacam ini jauh lebih efektif dalam membangun karakter remaja ketimbang tekanan hukuman.
4. Bangun komunikasi yang terbuka
Remaja membutuhkan ruang untuk didengar. Alih-alih mengeluarkan ultimatum, cobalah membuka percakapan, mendengarkan pendapat mereka, dan mencari solusi bersama.
Dengan pendekatan suportif, anak akan lebih termotivasi untuk merumuskan perubahan dirinya. Orangtua bisa bertanya, merefleksikan bersama, hingga meminta izin sebelum memberi saran, sehingga remaja merasa dihargai.
5. Gunakan pendekatan restoratif dan rasional
Saat anak melakukan kesalahan, bukan kemarahan yang diperlukan, melainkan ketenangan. Ajak mereka berdiskusi: apa yang terjadi, siapa yang terdampak, bagaimana memperbaikinya, dan cara mencegahnya terulang kembali.
Fokus pada pemulihan dan akuntabilitas ini jauh lebih bermanfaat dibanding hukuman yang justru bisa menekan mental anak.
Cara-cara di atas tidak hanya efektif mengurangi perilaku negatif remaja, tetapi juga mampu memperkuat ikatan emosional antara orangtua dan anak.
Dengan pendekatan yang tepat, remaja bisa tumbuh lebih sehat secara fisik maupun mental, serta memiliki kedewasaan sosial yang lebih matang.