Redaksi Pewarta.co.id
Selasa, September 30, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
GIAMM Desak Insentif Mobil Dihitung Berdasarkan TKDN, Industri Komponen Lokal Bisa Selamat |
PEWARTA.CO.ID — Gabungan Industri Alat-alat Mobil dan Motor (GIAMM) mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan insentif mobil. Organisasi ini menilai, pemberian insentif sebaiknya mengacu pada Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), bukan sekadar status impor maupun rakitan, agar industri komponen lokal tetap berdaya saing.
Saat ini, pemerintah memberikan keringanan besar bagi mobil listrik berstatus impor atau Completely Built Up (CBU). Skema tersebut justru dianggap merugikan produsen komponen di Tanah Air, karena membuat pesanan lokal berkurang.
Sekretaris Jenderal GIAMM, Rachmat Basuki, menyampaikan bahwa insentif yang dikaitkan dengan TKDN akan berdampak positif bagi seluruh rantai industri otomotif. Menurutnya, produsen pasti berlomba meningkatkan penggunaan komponen buatan Indonesia.
"Jadi, kalau maunya GIIAM, semakin tinggi TKDN mobilnya, semakin (besar) dikasih insentifnya. Tapi TKDN-nya yang benar, jangan sampai TKDN assembling aja 30 persen, kurang lah lokalisasinya," kata Rachmat di Jakarta, Selasa (30/9/2025).
Rachmat menambahkan, skema tersebut juga dapat menjadi jalan keluar agar tenaga kerja di sektor komponen tidak kehilangan pekerjaan. Dengan target TKDN yang jelas, produsen akan terpacu mengejar standar minimum.
Sebagai catatan, pemerintah saat ini menetapkan batas minimal TKDN sebesar 40 persen untuk mobil listrik yang dirakit di Indonesia. Namun, Rachmat menganggap angka itu belum cukup mendorong pertumbuhan industri komponen dalam negeri.
"Aturannya itu terlalu mudah dan terlalu ringan untuk yang BEV, sedangkan kita misalkan (TKDN) Avanza (ICE) 80 persen, dia itu komponennya harus disuplai dari lokal, jadi akan tumbuh banyak pabrik, pabrik kodi, pabrik steering, dan lainnya," ujarnya.
Ia juga menyoroti perhitungan TKDN yang masih bermasalah. Dari nilai minimal 40 persen, sekitar 30 persen hanya dihitung dari aktivitas perakitan atau assembling. Artinya, kontribusi nyata komponen lokal masih minim.
"Kalau BEV peraturannya ini misalkan hanya dirakit di Indonesia, (sudah dapat) 30 persen TKDN, kalau begitu impor saja semua (komponennya) kan assembling sudah dapat 30 persen," jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, GIAMM menegaskan bahwa insentif berbasis TKDN akan menjadi kunci agar industri komponen lokal tidak terpinggirkan oleh produk impor.