Redaksi Pewarta.co.id
Jumat, Juli 04, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Polemik fatwa haram sound horeg. (Dok. Ist) |
PEWARTA.CO.ID — Kontroversi penggunaan sound horeg kembali mencuat setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur resmi menyatakan bahwa penggunaan alat suara bertenaga besar itu tergolong haram. Namun menariknya, MUI Kabupaten Bondowoso ternyata telah lebih dahulu mengeluarkan fatwa serupa, bahkan sebelum kabar dari MUI Jatim ramai diperbincangkan publik.
Ketua MUI Bondowoso, KH Asy’ari Fasha, menegaskan bahwa pihaknya sudah lebih awal mengeluarkan larangan penggunaan sound horeg, yang dianggap membawa dampak negatif bagi masyarakat. Namun sayangnya, fatwa tersebut belum mendapatkan tanggapan resmi dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bondowoso.
“Sebenarnya MUI Bondowoso itu sudah lebih dahulu mengeluarkan larangan atau haram. Sebelum Pasuruan apalagi Jatim barusan,” kata Kyai Asy’ari.
Pernyataan ini mengindikasikan bahwa MUI Bondowoso memiliki inisiatif awal dalam merespons keresahan warga terhadap maraknya penggunaan sound horeg yang dinilai meresahkan.
Dalam keterangannya, Kyai Asy’ari menyebutkan bahwa pihaknya telah mengirim surat resmi kepada Pemkab Bondowoso dan beberapa lembaga terkait. Tujuannya adalah untuk mendorong pembentukan regulasi yang mengatur penggunaan sound horeg. Namun, hingga saat ini belum ada tindak lanjut nyata dari pemerintah daerah.
“Sampai sekarang belum ada kontak lebih lanjut, baik dari Sekda atau Bupati,” ungkapnya saat dikonfirmasi.
Ia juga belum mengetahui secara pasti apakah Pemkab tengah melakukan pembahasan dengan pihak lain terkait isu ini. Namun yang pasti, menurutnya, MUI Bondowoso belum pernah dilibatkan secara resmi dalam diskusi teknis ataupun perumusan aturan.
“Tapi informasinya draft aturan sound horeg sudah ada,” tambahnya.
Meski beredar kabar bahwa draf aturan mengenai sound horeg telah dirancang, namun Kyai Asy’ari menekankan bahwa dokumen tersebut perlu dikaji ulang secara komprehensif. Menurutnya, pembahasan perlu melibatkan banyak pihak, termasuk MUI, aparat keamanan, Kejaksaan, Kementerian Agama, serta tokoh masyarakat, agar aturan yang dihasilkan benar-benar kuat secara hukum dan diterima secara sosial.
Langkah kolaboratif ini dinilai penting, mengingat polemik sound horeg bukan hanya soal kenyamanan semata, tetapi juga menyangkut aspek kesehatan, keamanan, dan ketertiban lingkungan.
![]() |
Fenomena sound horeg dinilai meresahkan masyarakat. (Dok. Ist) |
Menurut Kyai Asy’ari, penggunaan sound horeg cenderung membawa lebih banyak mudarat dibanding manfaatnya. Ia menilai bahwa keberadaan sound horeg sering kali memicu keresahan warga, menimbulkan polusi suara, bahkan dapat membahayakan kesehatan telinga dalam jangka panjang.
“Sound horeg lebih banyak mengandung mudharat atau dampak negatif. Dibandingkan dengan manfaat atau dampak positif. Baik dalam sisi kesehatan, keamanan hingga ketertiban lingkungan,” jelasnya.
Dengan alasan tersebut, MUI Bondowoso bersikukuh pada pendiriannya untuk mengharamkan penggunaan sound horeg, terutama yang digunakan dalam skala besar tanpa kendali di lingkungan masyarakat.
Meski pembahasan mengenai potensi larangan sound horeg sudah mengemuka sejak lama, Pemkab Bondowoso hingga kini belum merilis aturan resmi dalam bentuk Peraturan Bupati (Perbup) maupun Peraturan Daerah (Perda). Situasi ini menimbulkan kebingungan di masyarakat, terutama di kalangan tokoh agama dan warga yang terdampak langsung oleh penggunaan sound horeg dalam berbagai kegiatan.
Padahal, menurut pengamat kebijakan lokal, kehadiran regulasi sangat dibutuhkan untuk menciptakan kepastian hukum dan mencegah konflik sosial akibat penggunaan sound horeg yang kerap memicu perdebatan di masyarakat.