Nimas Taurina
Kamis, Mei 08, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
PEWARTA.CO.ID - Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana mengadakan diskusi khusus dengan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, guna membahas gagasan pendidikan karakter berbasis kedisiplinan militer bagi siswa bermasalah. Program ini digagas sebagai upaya jangka pendek untuk menanggulangi berbagai permasalahan remaja di wilayahnya.
Dalam pernyataannya usai pertemuan dengan Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai di Jakarta pada Kamis (7/5/2025), Dedi menyebut bahwa model pendidikan ini menjadi opsi yang realistis karena keluarga dan sekolah dianggap tidak lagi efektif dalam mengatasi krisis moral dan kedisiplinan yang dihadapi sebagian besar remaja.
“Ya, setelah ini kami akan juga menyampaikan,” kata Dedi menanggapi rencananya berdiskusi dengan Menteri Abdul Mu’ti.
Dedi menegaskan, program pendidikan karakter di barak militer ditujukan bagi pelajar SMP dan SMA sederajat yang terbukti memiliki perilaku menyimpang. Masalah yang dimaksud mencakup kebiasaan begadang untuk bermain game daring hingga larut malam, yang menyebabkan mereka sering bolos sekolah.
Selain itu, penyalahgunaan media sosial juga menjadi sorotan. Dedi menilai, banyak remaja di Jawa Barat justru memanfaatkan media sosial untuk membentuk kelompok yang terlibat dalam konflik terbuka maupun tersembunyi.
Tak hanya itu, peredaran minuman keras dan obat-obatan yang mudah dijangkau remaja turut memperparah situasi.
“Karena problem ini tidak bisa diselesaikan di sekolah dan di keluarga serta tidak semua problem itu bisa ditangani lewat peradilan anak, harus ada upaya jangka pendek yang bisa dilakukan melalui pola pendidikan disiplin siswa … maka kami menggandeng lembaga TNI,” ujar Dedi.
Ia menilai TNI merupakan institusi yang tepat untuk memberikan pendidikan karakter, mengingat pengalamannya dalam mendidik tidak hanya prajurit tetapi juga masyarakat sipil.
Dalam diskusinya bersama Menteri HAM, Dedi memastikan bahwa program ini tidak melanggar hak anak. Justru, menurutnya, pendidikan berbasis barak dapat menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi siswa-siswa yang selama ini tidak mendapatkan dukungan positif baik dari rumah maupun sekolah.
“Kenapa? Karena selama ini mereka bolos. Mereka tidak pernah belajar, bangunnya rata-rata jam 10 siang. Kemudian, di barak itu mereka mendapat lingkungan yang baik. Karena selama ini mereka di rumahnya tidak mendapat lingkungan yang baik, di lingkungan sekolahnya tidak mendapat lingkungan yang baik, mereka menjadi anak jalanan,” katanya.
Program ini, lanjut Dedi, tidak dijalankan secara sepihak. Siswa yang mengikuti pendidikan barak harus mendapat persetujuan dari orangtua. Mereka akan menjalani pendidikan selama sekitar 28 hari, didampingi oleh dokter, psikolog, dan guru agama.
Meski berada di barak, siswa tetap terhubung dengan sekolahnya. Mereka akan tetap mengikuti proses pendidikan formal, termasuk ujian.
“Mereka mengikuti ujian dan pendidikan biasa. Mereka terkoneksi kepada sekolahnya dan tetap menjadi siswa,” tegasnya.