Hammad Hendra
Selasa, Mei 06, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Menaker Yassierly dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Jakarta, Senin (5/5/2025). (Foto: Dok. Tangkapan Layar Youtube/Komisi IX DPR RI) |
Jakarta, Pewarta.co.id – Pemutusan hubungan kerja (PHK) masih menjadi masalah yang menghantui sektor ketenagakerjaan di Indonesia.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan bahwa tren PHK belum menunjukkan tanda-tanda penurunan secara signifikan.
Hal itu disampaikannya dalam rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI di Jakarta pada Senin, 5 Mei 2025.
Dalam forum tersebut, Yassierli memaparkan data terkini mengenai jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan.
Menurutnya, angka tertinggi terjadi pada tahun 2020 saat pandemi Covid-19 mengguncang dunia, termasuk Indonesia.
Saat itu, tercatat sebanyak 386.877 orang mengalami PHK.
Setelah puncak krisis pandemi, angka PHK sempat menurun secara drastis, menjadi 127.085 orang pada tahun 2021 dan menyusut lagi menjadi 25.114 orang pada 2022.
Namun, tren itu kembali berubah sejak 2023.
“Angka PHK kembali melonjak di tahun 2023 dan 2024. Masing-masing sebanyak 64.855 orang dan 77.965 orang,” jelas Yassierli.
Bahkan, hingga 23 April 2025, sudah terdapat 24.036 orang yang menjadi korban PHK.
Ia menegaskan bahwa jika tren ini berlanjut, jumlah tersebut bisa menyamai bahkan melampaui angka tahun sebelumnya.
"Jadi sudah sepertiga dari tahun 2024. Jadi kalau ada yang bertanya PHK, year to year, gabungan itu dibandingkan tahun ini sama tahun lalu, itu memang meningkat," ungkapnya.
Yassierli juga mengidentifikasi wilayah dan sektor yang paling terdampak. Provinsi Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau menempati posisi tiga besar daerah dengan kasus PHK terbanyak.
Sementara itu, industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya menjadi sektor paling banyak menyumbang angka PHK.
"3 provinsi terbanyak PHK, Jawa Tengah, Jakarta, dan Riau. Dan 3 sektor terbanyak itu adalah industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran, serta aktivitas jasa lainnya," tambahnya.
Penyebab PHK: Dari kerugian usaha hingga restrukturisasi
Lebih lanjut, Menaker menguraikan faktor-faktor utama yang mendorong terjadinya PHK.
Berdasarkan evaluasi internal Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 25 alasan PHK yang tercatat.
Namun, ia menyoroti tujuh faktor yang paling dominan.
"Kita coba bedah apa sih penyebab PHK? Ini adalah hasil data dari kami, ternyata kalau kita lihat memang ada 25 penyebab PHK. Mungkin 7 inilah yang paling dominan," jelasnya.
Ketujuh penyebab tersebut adalah:
- Kerugian usaha atau penutupan perusahaan
- Relokasi bisnis
- Perselisihan hubungan industrial
- Tindakan balasan akibat mogok kerja
- Efisiensi guna mencegah kerugian
- Transformasi kebijakan perusahaan
- Kebangkrutan atau status PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang)
Yassierli menambahkan bahwa perusahaan yang mengalami kerugian umumnya tak mampu bersaing karena kondisi pasar domestik dan ekspor yang memburuk.
Sementara itu, perselisihan industrial bisa disebabkan oleh pelanggaran dari pekerja ataupun pengusaha.
"Jadi penyebab PHK juga beragam. Ketika ditanya seperti apa mitigasinya, kita juga harus lihat case by case-nya," pungkas Yassierli.