Di Tengah Krisis Perang Dagang AS-China, India Justru Raup Keuntungan Besar

4 hours ago 3

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Selasa, Mei 06, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

Di Tengah Krisis Perang Dagang AS-China, India Justru Raup Keuntungan Besar
Di tengah krisis perang dagang AS-China, India justru raup keuntungan besar. (Foto: Dok. Getty Images/Hindustan Times)

PEWARTA.CO.ID - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membawa dampak signifikan terhadap perekonomian global.

Banyak pelaku industri besar yang kini mulai merasakan dampaknya, seiring dengan meningkatnya ketidakpastian dan gangguan terhadap sistem perdagangan bebas yang selama ini menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi dunia.

Dalam beberapa pekan terakhir, berbagai perusahaan multinasional, termasuk pelaku bisnis e-commerce global, menurunkan proyeksi penjualan mereka.

Tak hanya itu, sebagian bahkan mempertimbangkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan melakukan evaluasi ulang terhadap strategi bisnis jangka panjang mereka.

Sementara itu, negara-negara dengan ekonomi besar mulai merevisi kembali proyeksi pertumbuhan mereka karena indikator ekonomi global menunjukkan perlambatan.

Di tengah ketegangan tersebut, pasar keuangan berspekulasi bahwa pada akhirnya AS dan China akan mencapai kompromi.

Namun, ketidakjelasan arah kebijakan kedua negara masih menjadi penghambat besar bagi dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan.

"Kebijakan tarif AS merupakan guncangan negatif yang serius bagi dunia dalam waktu dekat," kata Isabelle Mateos y Lago, kepala ekonom grup di bank Prancis BNP Paribas, kepada Reuters, Senin (5/5/2025).

"Akhir dari tarif AS mungkin masih jauh dan pada tingkat yang lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya," ujarnya tentang tarif menyeluruh AS yang saat ini ditetapkan pada garis dasar 10% di samping biaya yang lebih tinggi dan khusus untuk sektor tertentu pada produk-produk seperti baja, aluminium, dan mobil.

Pemerintah China menyatakan bahwa mereka sedang mempertimbangkan tawaran dari AS untuk membuka kembali dialog mengenai tarif impor, yang saat ini telah melonjak menjadi 145%. Sebagai respons, Beijing memberlakukan tarif balasan sebesar 125%.

Di sisi lain, pemerintah AS juga disebut-sebut tengah mendekati kesepakatan perdagangan dengan negara-negara seperti India, Korea Selatan, dan Jepang dalam upaya menghindari perang tarif yang semakin luas.

Perusahaan global turut terdampak. Produsen peralatan rumah tangga asal Swedia, Electrolux, memangkas target bisnisnya.

Hal serupa dilakukan oleh Volvo Cars, Logitech, serta perusahaan minuman multinasional Diageo, yang semuanya mengaitkan keputusan tersebut dengan ketidakpastian pasar akibat perang dagang.

Sektor usaha kecil pun tidak luput dari pukulan keras. Pencabutan perlakuan bebas bea “de minimis” oleh AS terhadap produk impor dengan nilai di bawah US$ 800 menyebabkan banyak pelaku usaha kecil asal China menghentikan operasional ekspor mereka.

"Kami beralih dari nol ke 145%, yang benar-benar tidak dapat dipertahankan bagi perusahaan dan pelanggan," kata Cindy Allen, CEO Trade Force Multiplier, konsultan perdagangan global. "Saya telah melihat banyak bisnis kecil hingga menengah memilih untuk keluar dari pasar sama sekali."

India menjadi pemenang di tengah ketegangan

Meski dampak perang dagang ini begitu luas dan merugikan banyak pihak, ada satu negara yang justru mendapatkan keuntungan besar: India.

Negeri Bollywood mencatatkan pertumbuhan sektor manufaktur tertingginya dalam 10 bulan terakhir pada bulan April.

India kini menjadi pilihan baru bagi banyak perusahaan yang sebelumnya menggantungkan produksinya di China.

Perpindahan ini terjadi karena tarif AS terhadap produk India jauh lebih rendah dibandingkan China, menjadikan India sebagai alternatif logis bagi banyak perusahaan besar, termasuk Apple.

"India berada pada posisi yang tepat untuk menjadi alternatif bagi Tiongkok sebagai pemasok barang ke AS dalam jangka pendek," kata ekonom pasar berkembang Shilan Shah di Capital Economics.

Kendati begitu, para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan tarif yang diterapkan pemerintahan Trump sejatinya merupakan bentuk “guncangan permintaan”.

Kebijakan ini membuat barang impor menjadi lebih mahal bagi konsumen dan pelaku usaha di AS, yang pada akhirnya turut melemahkan aktivitas ekonomi secara global.

Namun, ada sisi positif dari ketegangan ini.

Dengan tekanan inflasi yang menurun, bank sentral di berbagai negara kini memiliki ruang lebih luas untuk menstimulasi perekonomian melalui kebijakan suku bunga yang lebih akomodatif.

Langkah tersebut telah mulai diterapkan oleh Bank of England pekan ini.

Meski demikian, belum terlihat dampak nyata dari strategi Trump untuk menata ulang sistem perdagangan global demi kepentingan AS.

Masih menjadi pertanyaan apakah tekanan ini akan mendorong negara-negara seperti China atau kawasan Uni Eropa melakukan reformasi struktural besar-besaran terhadap sistem ekonominya masing-masing.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |