Hammad Hendra
Selasa, Mei 06, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Xi Jinping dan Donald Trump. (Foto: Dok. AP Photo/Andy Wong, File) |
PEWARTA.CO.ID - Kebijakan tarif tinggi yang digulirkan oleh Presiden AS, Donald Trump, terhadap China mulai memperlihatkan dampak serius pada industri teknologi, khususnya bagi perusahaan besar seperti Amazon.
Selama tahun 2025, saham perusahaan e-commerce tersebut telah terjun bebas lebih dari 30%, menimbulkan kekhawatiran besar di kalangan investor.
Dalam upaya meredakan keresahan pasar, Amazon menegaskan bahwa permintaan konsumen terhadap produk di platformnya belum menunjukkan penurunan signifikan.
Bahkan, harga barang rata-rata masih tergolong stabil sejauh ini.
"Ada peningkatan pembelian untuk beberapa kategori barang," kata Amazon, dikutip dari Reuters, Senin (5/5/2025).
Strategi bertahan: Stok lebih awal dan harga tetap murah
CEO Amazon, Andi Jassy, mengungkapkan bahwa perusahaannya telah mengambil langkah proaktif untuk mengantisipasi dampak tarif.
Salah satunya dengan mendorong para penjual pihak ketiga untuk lebih awal memindahkan stok ke dalam negeri.
"Pedagang pihak ketiga kami sudah menarik sejumlah barang sehingga mereka juga memiliki persediaan di AS. Kami mendorong hal itu karena kami berusaha menjaga harga serendah mungkin," kata Jassy.
Namun, para analis memandang bahwa strategi penimbunan barang tersebut hanya mampu memberikan efek sementara.
Seiring berjalannya waktu dan jika ketegangan dagang terus berlanjut, para pedagang tak punya pilihan selain menaikkan harga demi menjaga margin keuntungan.
"Saya tak bisa membayangkan para pedagang menimbun barang lebih dari 6 bulan," kata Gil Luria, analis di D.A. Davidson.
"Jika sudah lewat 6 bulan dan kondisi masih penuh ketidakpastian seperti sekarang, Amazon harus mengambil tindakan yang kurang mengenakkan," ia menambahkan.
Langkah-langkah tersebut bisa mencakup kenaikan harga jual, pengorbanan margin keuntungan jangka panjang, atau mendorong penjual untuk menanggung beban margin yang lebih kecil.
Tidak sendiri: Raksasa teknologi lain juga terimbas
Selain Amazon, perusahaan-perusahaan teknologi lainnya seperti Apple, Qualcomm, Intel, dan Samsung juga mengalami tekanan yang sama akibat kebijakan proteksionis AS tersebut.
Meski Amazon memiliki lini bisnis komputasi awan (AWS) yang relatif lebih tahan terhadap dampak tarif, performanya pada kuartal pertama 2025 tetap kurang menggembirakan jika dibandingkan dengan pesaing utamanya, Azure milik Microsoft.
Penghapusan De Minimis memperparah keadaan
Krisis yang dihadapi Amazon tidak hanya soal tarif.
Pemerintahan Trump juga mencabut aturan de minimis yang selama ini memungkinkan barang-barang impor murah bebas dari bea masuk.
Kebijakan ini berdampak besar pada jaringan logistik dan penjual kecil di platform Amazon, terutama mereka yang mengandalkan produk asal China.
Bahkan, sejumlah penjual di segmen Amazon Haul berencana untuk tidak ambil bagian dalam program diskon Amazon Prime Day yang akan datang karena tekanan harga yang terlalu tinggi.
Penurunan minat belanja diprediksi akan terjadi, terutama karena diskon besar menjadi daya tarik utama konsumen selama acara tersebut.
Akibatnya, pertumbuhan pendapatan dari layanan penjual pihak ketiga Amazon pada Q1 2025 anjlok menjadi hanya 7%, tidak termasuk efek dari fluktuasi nilai tukar.
Layanan ini sejatinya berkontribusi besar terhadap pendapatan Amazon, yakni hampir 25%.
Meskipun Amazon memproyeksikan penjualan kuartal kedua akan melampaui ekspektasi pasar, potensi laba inti perusahaan tampaknya tetap mengecewakan.
Sampai saat ini, Amazon belum mengumumkan secara gamblang apakah akan memberikan insentif untuk menjaga harga tetap rendah atau membiarkan beban tarif dan pencabutan de minimis berdampak langsung pada harga konsumen.
"Dampak terburuk dari kondisi saat ini akan terasa pada Q3 dan Q4 2025. Saat ini, berbagai pihak masih memainkan solusi jangka pendek karena mereka tak tahu apalagi yang bisa dilakukan," kata Presiden dan Kepala Analis di TECHnalysis Research, Bob O'Donell.