Hammad Hendra
Senin, Februari 24, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
LHKPN: Instrumen transparansi dalam pemberantasan korupsi. (Dok. LHKPN) |
PEWARTA.CO.ID - Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia memerlukan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat.
Ketika diberi kesempatan, masyarakat tentu siap untuk berperan dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi.
Agar keterlibatan ini lebih efektif, diperlukan instrumen yang dapat diakses secara terbuka dan mudah digunakan.
Salah satu alat yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dalam pengawasan pejabat publik adalah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
LHKPN berfungsi sebagai bentuk transparansi terkait harta kekayaan pejabat negara sekaligus sebagai sarana pertanggungjawaban atas kepemilikan aset mereka.
LHKPN sebagai bentuk transparansi pejabat publik
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, menjelaskan bahwa "LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi merupakan bentuk transparansi kepemilikan dan asal-usul harta kekayaan seorang penyelenggara negara."
LHKPN dapat diakses oleh masyarakat, yang memungkinkan publik turut mengawasi kejujuran pejabat dalam melaporkan harta kekayaannya.
Dalam laporan tersebut, pejabat negara wajib mencantumkan seluruh harta kekayaan mereka, termasuk properti, kendaraan, surat berharga, uang tunai atau setara kas, serta utang.
Tidak hanya itu, harta yang dimiliki oleh pasangan dan anak yang masih dalam tanggungan juga harus dicantumkan dalam laporan.
Efektivitas LHKPN dalam pemberantasan korupsi
LHKPN berperan penting dalam mengawasi apakah perubahan harta kekayaan seorang pejabat sesuai dengan profil jabatannya.
Masyarakat juga dapat membandingkan laporan tersebut dengan kondisi nyata di lapangan.
Jika ditemukan ketidaksesuaian, publik bisa melaporkannya ke KPK untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sejauh ini, ada beberapa kasus korupsi yang terungkap berkat laporan masyarakat terkait ketidaksesuaian dalam LHKPN.
Salah satu contohnya adalah kasus Rafael Alun Trisambodo, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Jakarta Selatan II. Kekayaannya menjadi sorotan publik setelah anaknya terlibat dalam kasus penganiayaan yang mengarah pada penyelidikan lebih lanjut terhadap harta kekayaannya.
KPK kemudian menemukan bukti tindak pidana korupsi, dan Rafael divonis 14 tahun penjara serta diwajibkan membayar denda Rp500 juta dan uang pengganti Rp10 miliar.
Kasus lain yang serupa adalah Eko Darmanto, mantan Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Yogyakarta, yang tersandung kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan nilai dugaan mencapai Rp37,7 miliar.
Kemudian, Andhi Pramono, mantan Kepala Kantor Bea dan Cukai Makassar, juga dijerat kasus gratifikasi dan TPPU dengan total penerimaan gratifikasi mencapai Rp58,9 miliar.
Tingkat kepatuhan pejabat terhadap LHKPN
Saat ini, Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka telah melaporkan LHKPN mereka sesuai dengan kewajiban yang berlaku.
Selain itu, seluruh menteri, wakil menteri, dan kepala lembaga setingkat menteri dalam Kabinet Merah Putih juga telah memenuhi kewajiban ini, dengan tingkat kepatuhan mencapai 100 persen.
KPK mencatat bahwa pada tahun 2025 terdapat 418.665 pejabat yang wajib melaporkan LHKPN.
Hingga 31 Januari 2025, sebanyak 145.320 pejabat telah melaporkan kekayaannya, atau sekitar 33,45 persen dari total wajib lapor.
KPK mengingatkan agar para pejabat yang belum melaporkan LHKPN segera memenuhi kewajiban tersebut sebelum tenggat waktu 31 Maret 2025.
Laporan LHKPN yang telah diverifikasi KPK dapat diakses oleh masyarakat melalui laman https://elhkpn.kpk.go.id.
Dengan adanya akses ini, publik memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam pengawasan harta kekayaan pejabat negara dan berperan aktif dalam pemberantasan korupsi.
Peran masyarakat dalam pengawasan korupsi
KPK menjamin kerahasiaan identitas masyarakat yang melaporkan dugaan korupsi.
Oleh karena itu, publik tidak perlu ragu untuk melaporkan apabila menemukan ketidaksesuaian dalam LHKPN seorang pejabat.
Semakin banyak masyarakat yang aktif berpartisipasi dalam pengawasan ini, semakin besar pula peluang untuk menekan angka korupsi di Indonesia.
Korupsi adalah musuh bersama yang harus diberantas hingga ke akarnya.
Dengan keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawasi transparansi pejabat publik, diharapkan Indonesia dapat menuju masa depan yang lebih bersih dan sejahtera.