Hammad Hendra
Kamis, Februari 06, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Pakar UGM: Ambang batas parlemen perlu dipertahankan untuk stabilitas politik. (Dok. UGM) |
Yogyakarta, Pewarta.co.id – Pakar Politik dan Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, menilai bahwa ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebaiknya tetap dipertahankan.
Menurutnya, aturan ini menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan.
"Sebelumnya, ambang batas ini hanya 3,5 persen, lalu dinaikkan menjadi 4 persen pada revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017.
Angka ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan," ujar Alfath di Yogyakarta, Rabu.
Ambang batas parlemen hasil kompromi demokrasi
Alfath menjelaskan bahwa ketentuan ambang batas parlemen sebesar 4 persen bukanlah angka yang ditetapkan secara sembarangan. Sebaliknya, angka tersebut merupakan hasil kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.
Tanpa adanya ambang batas, partai-partai kecil yang selama ini gagal lolos ke parlemen akan berpeluang memperoleh kursi. Namun, hal ini juga berpotensi menambah kompleksitas dalam proses pengambilan keputusan di DPR.
"Jumlah partai yang lebih banyak akan menambah beban terkait fraksi, pembagian tugas, dan efektivitas kinerja DPR itu sendiri," jelasnya.
Dengan jumlah partai yang lebih sedikit dan lebih terstruktur, ia meyakini bahwa proses legislasi serta pengawasan terhadap kebijakan pemerintah dapat berjalan lebih baik.
"Jangan sampai karena ingin mengakomodasi semua kelompok, malah justru yang terlayani adalah kepentingan politisi, bukan rakyat," tegas Alfath.
Dampak ambang batas terhadap partai politik
Menurut Alfath, ambang batas parlemen juga memiliki fungsi penting dalam memperjelas ideologi dan program kerja partai politik.
"Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai-partai politik harus memiliki ideologi dan program yang jelas. Kalau tidak, akan sulit menentukan apa yang membedakan satu partai dengan partai lainnya," katanya.
Namun, di sisi lain, ia juga menyoroti bahwa masyarakat pada dasarnya tidak terlalu mempermasalahkan ada atau tidaknya ambang batas parlemen.
"Yang penting adalah fungsi-fungsi DPR berjalan dengan baik, tidak kedap terhadap kritik, dan benar-benar bekerja untuk rakyat," tambahnya.
Potensi pembatalan oleh Mahkamah Konstitusi
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) berpotensi membatalkan ambang batas parlemen sebesar 4 persen dari suara sah nasional.
"Setelah ada putusan presidential threshold, kemungkinan besar MK juga membatalkan parliamentary threshold yang selama ini selalu dipersoalkan oleh partai-partai politik," ujar Yusril di Denpasar, Bali, pada 13 Januari.
Ia menilai bahwa keputusan MK yang menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen bisa berdampak pada penghapusan ambang batas parlemen.
Menurut Yusril, keputusan tersebut membuka peluang bagi partai-partai politik untuk berkembang dalam sistem demokrasi Indonesia yang lebih sehat.
Perdebatan mengenai ambang batas parlemen masih terus berlangsung. Di satu sisi, aturan ini dinilai penting untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan efektivitas kerja DPR.
Namun, di sisi lain, ada dorongan untuk meninjau kembali aturan ini agar memberikan kesempatan lebih luas bagi partai-partai kecil.
Apapun keputusannya, yang terpenting adalah bagaimana kebijakan tersebut mampu menciptakan sistem demokrasi yang lebih baik dan benar-benar mewakili kepentingan rakyat.