Pewarta Network
Jumat, Januari 17, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
Sanusi (52), salah seorang pedagang cabai di Pasar KM 5 Palembang. Senin (30/10). (Dok. JPNN). |
PEWARTA.CO.ID - Harga cabai rawit merah saat ini mencatat kenaikan yang cukup drastis di berbagai wilayah Indonesia, bahkan mencapai angka Rp 150 ribu per kilogram di beberapa daerah. Kenaikan harga ini menimbulkan kekhawatiran terkait daya beli masyarakat yang kian tertekan.
"Ya harga cabai rawit tinggi, sangat tinggi bahkan. Sampai tembus di beberapa daerah itu 150, bahkan ada di atas itu. Tapi secara rata-rata memang masih di atas Rp 100 ribu," ujar Ketua Umum DPP IKAPPI, Abdullah Mansuri, Jumat (17/1/2025).
Abdullah menjelaskan bahwa kenaikan harga cabai rawit merah ini terutama disebabkan oleh masalah produksi. Cuaca ekstrem, seperti banjir dan ketidakpastian iklim, menjadi hambatan utama yang menyebabkan hasil panen cabai menurun. Akibatnya, pasokan cabai rawit terbatas sehingga memicu lonjakan harga di pasar.
"Rp100 ribu atau Rp120 ribu cabai rawit merah. Apa penyebabnya? Faktor produksinya tidak banyak. Ada beberapa yang gagal, ada beberapa yang tidak tanam, baru tanam," ungkapnya.
Selain faktor produksi, distribusi juga memainkan peran dalam menentukan harga. Namun, menurut Abdullah, masalah produksi tetap menjadi faktor yang lebih dominan dalam memengaruhi fluktuasi harga cabai.
Kenaikan harga cabai rawit yang signifikan tentu berdampak pada daya beli masyarakat. Abdullah menegaskan bahwa semakin tinggi harga suatu komoditas, konsumen akan cenderung menahan diri untuk membeli.
"Apakah harga cabai rawit mempengaruhi daya beli konsumen? Pasti. Kalau harganya tinggi, pasti akan mempengaruhi daya beli konsumen. Itu hukum alam pasti. Jadi semakin tinggi harganya, maka pelanggan beli juga akan berpikir. Untuk membeli itu, karena terlalu tinggi," jelasnya.
Harga cabai rawit merah saat ini mengalami lonjakan yang cukup signifikan di berbagai daerah, bahkan mencapai angka Rp 150 ribu hingga lebih. (Dok. Liputan6). |
Sebagai salah satu solusi, Abdullah menyarankan agar cabai rawit dicampur dengan jenis cabai lain untuk mengurangi harga per kilogram. Meski demikian, solusi jangka panjang tetap membutuhkan perencanaan yang lebih terstruktur terkait produksi cabai.
"Solusinya kalau tetap mau beli cabai rawit dengan harga yang turun, adalah dioplos, dicampur dengan cabai yang lain. Apakah pasokan cabai rawit dari petani cukup lancar? Tidak, banyak yang gagal, banyak yang baru tanam. Karena memang cuaca itu mempengaruhi," tambahnya.
Abdullah menekankan perlunya desain pangan yang terencana untuk mengatasi fluktuasi harga cabai. Pemerintah perlu mendorong petani untuk menanam cabai pada waktu yang tepat, menggunakan bibit unggul, pupuk yang sesuai, dan teknologi modern.
"Makanya berulang kali kami sampaikan bahwa, untuk cabai itu memang harus ada desain pangatnya. Kita dorong petani untuk tanam di bulan ini, ini, ini. Terus ini teknologi terbarunya, ini bibitnya, ini pupuknya," ujarnya.
Sebagai komoditas yang mudah rusak, seperti halnya bawang merah, cabai rawit sangat bergantung pada kondisi cuaca dan manajemen produksi yang baik. Abdullah menambahkan bahwa dengan desain pangan yang lebih baik, produksi cabai bisa lebih stabil, harga lebih terkendali, dan pasokan lebih terjamin.
Dengan perencanaan yang matang, baik dari sisi waktu tanam maupun teknologi pertanian, diharapkan pasokan cabai dapat mencukupi kebutuhan pasar tanpa memicu lonjakan harga yang memberatkan konsumen. Langkah ini tidak hanya memberikan manfaat bagi petani, tetapi juga meningkatkan daya beli masyarakat yang selama ini terdampak oleh fluktuasi harga cabai.