Skandal Tata Kelola Minyak Mentah: Negara Rugi Rp193,7 Triliun

2 weeks ago 37

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Selasa, Februari 25, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

 Negara Rugi Rp193,7 Triliun
Skandal tata kelola minyak mentah: Negara rugi Rp193,7 triliun. (Dok. Detik.com)

Jakarta, Pewarta.co.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap skandal dugaan korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023.

Dugaan tindakan melawan hukum ini diperkirakan telah merugikan keuangan negara hingga Rp193,7 triliun.

“Beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sekitar Rp193,7 triliun,” ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, di Gedung Kejaksaan Agung, Senin (24/2) malam.

Kerugian negara ini berasal dari berbagai faktor, seperti ekspor minyak mentah dalam negeri yang tidak semestinya, impor minyak mentah serta bahan bakar minyak (BBM) melalui perantara (broker), hingga pemberian kompensasi dan subsidi yang tidak transparan.

Manipulasi produksi dan impor minyak

Pada periode 2018–2023, regulasi yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 mewajibkan PT Pertamina (Persero) untuk mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri sebelum melakukan impor.

Namun, para tersangka dalam kasus ini diduga melakukan manipulasi kebijakan yang menyebabkan ketergantungan terhadap impor minyak.

Menurut Qohar, tersangka RS, SDS, dan AP diduga telah merekayasa keputusan dalam rapat optimalisasi hilir guna menurunkan produksi kilang minyak dalam negeri.

Dampaknya, produksi minyak bumi nasional tidak terserap maksimal, dan kebutuhan minyak mentah akhirnya harus dipenuhi dengan impor.

Selain itu, produksi minyak mentah dari KKKS dalam negeri juga sengaja ditolak dengan alasan tidak sesuai spesifikasi atau kurang menguntungkan.

Akibatnya, minyak mentah yang seharusnya bisa digunakan di dalam negeri malah diekspor ke luar negeri.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” jelas Qohar.

Kolusi dengan broker dan manipulasi harga

Investigasi Kejagung menemukan adanya keterlibatan penyelenggara negara dalam pengadaan impor minyak mentah.

Subholding Pertamina diduga bekerja sama dengan broker untuk memenangkan pihak tertentu dalam proses impor minyak mentah dan produk kilang secara tidak sah.

“Tersangka RS, SDS, dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” kata Qohar.

Lebih lanjut, tersangka DW dan GRJ diduga melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memastikan harga jual minyak tetap tinggi, meskipun syarat-syarat yang ditetapkan belum sepenuhnya terpenuhi.

Sementara itu, tersangka SDS dan RS memberikan persetujuan terhadap impor minyak mentah dan produk kilang yang sebenarnya tidak diperlukan.

Dampak dari tindakan ini sangat merugikan masyarakat. Harga dasar minyak yang digunakan sebagai acuan penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM menjadi jauh lebih tinggi.

Akibatnya, subsidi dan kompensasi BBM yang diberikan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) turut meningkat, menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.

Penetapan tersangka dan proses hukum

Pada Senin (24/2) malam, Kejagung menetapkan tujuh tersangka baru dalam kasus ini, yakni:

1. RS – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

2. SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional

3. YF – PT Pertamina International Shipping

4. AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional

5. MKAR – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa

6. DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim

7. GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Kejagung menegaskan bahwa angka kerugian negara ini masih dalam tahap perhitungan akhir bersama para ahli.

Proses hukum terhadap para tersangka akan terus berjalan untuk memastikan adanya pertanggungjawaban atas skandal ini.

Kasus ini menjadi salah satu kasus korupsi terbesar dalam sektor energi Indonesia dan menunjukkan pentingnya transparansi serta pengawasan ketat dalam pengelolaan sumber daya alam negara.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |