Nimas Taurina
Rabu, April 16, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ilustrasi - Mobil listrik Jetour X50e yang dipamerkan pada jumpa pers di Jakarta, Kamis (20/3/2025). (Dok. ANTARA). |
PEWARTA.CO.ID - Sebuah studi terbaru yang dirilis oleh ADAC, organisasi otomotif terbesar di Jerman dan Eropa, mengungkapkan temuan yang cukup mengejutkan: mobil listrik ternyata lebih jarang mengalami kerusakan dibanding mobil berbahan bakar bensin.
Hasil riset ini didasarkan pada data aktual dari lebih dari 3,6 juta insiden kerusakan kendaraan yang ditangani oleh tim "Yellow Angels" ADAC selama tahun lalu. Para teknisi mencatat secara rinci setiap kejadian gangguan, memberikan dasar analisis yang kuat terkait keandalan masing-masing jenis kendaraan.
Menurut laporan ADAC, kendaraan listrik yang pertama kali terdaftar antara tahun 2020 hingga 2022 hanya mengalami rata-rata 4,2 kerusakan per 1.000 unit. Angka ini jauh lebih rendah dibanding mobil bermesin pembakaran internal (ICE) yang mencatat 10,4 kerusakan per 1.000 kendaraan dalam rentang usia yang sama.
Perbedaan mencolok ini memberikan gambaran bahwa mobil listrik memiliki sistem yang lebih sederhana dan minim komponen bergerak, yang berkontribusi pada menurunnya potensi gangguan teknis selama masa pakai awal.
Meskipun jenis mesinnya berbeda, penyebab kerusakan paling umum di kedua kendaraan ternyata sama: baterai 12 volt. Komponen ini menyumbang sekitar 50 persen dari seluruh gangguan pada mobil listrik, dan 45 persen pada kendaraan berbahan bakar bensin.
Baterai 12 volt memang kerap menjadi titik lemah karena digunakan untuk menyalakan sistem kelistrikan dasar seperti lampu, sistem infotainment, dan kontrol pintu. Bahkan pada mobil listrik, baterai ini tetap eksis meskipun mobil sudah dilengkapi dengan baterai utama bertegangan tinggi.
Dari sektor lain seperti sistem kelistrikan, manajemen mesin, hingga pencahayaan, kendaraan bermesin bensin secara konsisten menunjukkan tingkat kerusakan yang sama atau lebih tinggi dibandingkan mobil listrik.
Sistem pembakaran internal yang kompleks memang lebih rentan terhadap masalah seperti kebocoran oli, kerusakan busi, hingga gangguan pada sistem pendinginan yang sebagian besar tidak ditemukan pada kendaraan listrik.
Meski unggul di banyak aspek, studi ADAC mencatat satu titik lemah dari mobil listrik, yakni soal masalah pada ban. Dari 1.000 unit mobil listrik, sebanyak 1,3 kendaraan mengalami kerusakan ban, dibandingkan 0,9 kendaraan bensin dalam jumlah yang sama.
Namun, angka ini pun menunjukkan tren menurun pada mobil listrik generasi baru, yang artinya produsen semakin mampu mengatasi tantangan desain dan bobot kendaraan yang dulunya menjadi penyebab utama keausan ban.
Meski jumlah kendaraan listrik terus bertambah, data dari ADAC menunjukkan bahwa panggilan layanan untuk mobil listrik hanya mencakup 1,2 persen dari total insiden kerusakan, yakni sebanyak 43.678 kasus dari 3,6 juta panggilan.
Angka ini sekaligus memperkuat kesimpulan bahwa mobil listrik memang lebih andal secara keseluruhan, terutama dalam beberapa tahun pertama penggunaannya.