Pewarta Network
Senin, Februari 03, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
Tak hanya kulit, sengatan sinar matahari juga dapat mengancam organ yang sensitif lainnya yakni mata. (Dok. ANTARA). |
PEWARTA.CO.ID - Saat cuaca cerah dengan sinar matahari yang menyengat, banyak orang melindungi kulitnya menggunakan tabir surya untuk mencegah sunburn atau kulit terbakar. Namun, tak hanya kulit yang berisiko, paparan sinar ultraviolet (UV) juga dapat merusak mata.
Dokter mata dari Universitas Chicago Medical Center, Dr. Steven Quan, menjelaskan bahwa kondisi ini disebut sebagai fotokeratitis. “Fotokeratitis adalah istilah teknis,” ujar Dr. Quan, seperti dikutip dari Livescience pada Senin (2/2). Menurutnya, radiasi UV yang tinggi dapat menyebabkan luka bakar pada sel epitel kornea.
Sementara itu, Dr. Esen Akpek, seorang profesor oftalmologi dari Fakultas Kedokteran Universitas John Hopkins, menjelaskan bahwa kornea berfungsi seperti kaca jam tangan yang melindungi bagian dalam mata. Kornea terdiri dari lima lapisan utama, yakni epitel, lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan endotelium.
Lapisan terluar, yaitu epitel, merupakan pelindung yang kuat terhadap debu, air, dan bakteri. Selain itu, epitel juga berperan dalam menyalurkan oksigen serta nutrisi ke seluruh kornea. Namun, saat terpapar sinar UV dalam jumlah besar, lapisan epitel bisa kehilangan ketahanan dan mengelupas.
“Yang terjadi pada mata saat terkena paparan sinar UV adalah lapisan epitel kehilangan ketahanan. Sebagian darinya mengelupas,” kata Dr. Akpek.
Dalam beberapa kasus, lapisan epitel bisa mengelupas sepenuhnya, menyebabkan rasa sakit yang hebat karena terdapat banyak saraf di bawah lapisan tersebut. Meskipun sel-sel epitel dapat beregenerasi seperti sel kulit, ada kondisi tertentu di mana regenerasi tidak berlangsung dengan cukup cepat sehingga kornea menjadi rentan.
Pada paparan UV berintensitas rendah, sel epitel biasanya mati secara bertahap. Namun, jika paparan UV sangat tinggi, sel induk yang bertugas untuk regenerasi juga bisa mati, yang pada akhirnya berisiko menyebabkan gangguan permanen pada mata. Bahkan, dalam kasus yang sangat jarang terjadi, kondisi ini dapat menyebabkan kebutaan. “Itu sangat jarang terjadi, tetapi itu bisa terjadi,” ujar Dr. Akpek.
Secara umum, fotokeratitis dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, menurut Akademi Oftalmologi Amerika, kondisi ini dapat menimbulkan gejala seperti nyeri mata hebat, mata merah, penglihatan kabur, pembengkakan, dan sakit kepala. Fotokeratitis lebih sering terjadi pada orang yang sering terpapar sinar UV secara intens, seperti saat beraktivitas di area bersalju.
Salah satu bentuk fotokeratitis yang sering dialami adalah "kebutaan salju," yang terjadi di wilayah bersalju seperti Kutub Utara, Kutub Selatan, atau pegunungan tinggi. Selain itu, aktivitas seperti berperahu atau berkebun juga berpotensi menyebabkan kerusakan kornea karena sinar UV dapat dipantulkan dari permukaan air atau pasir.
Dr. Quan menyarankan penggunaan topi atau kacamata hitam yang mampu menghalangi 100 persen sinar UV untuk mengurangi risiko kerusakan mata. “Beberapa orang mengenakan kacamata hitam tergantung dengan aktivitas mereka,” kata Dr. Quan.
Jika berada di area yang memantulkan banyak cahaya, topi saja mungkin tidak cukup efektif, sehingga penggunaan kacamata hitam sangat disarankan. Namun, jika kacamata hitam tidak memungkinkan, topi tetap bisa memberikan perlindungan tambahan.
Berbeda dengan kulit yang terbakar akibat sinar matahari dan dapat meningkatkan risiko tumor kulit, fotokeratitis umumnya tidak menyebabkan tumor pada kornea. Namun, paparan UV tetap dapat menyebabkan kanker pada kelopak mata.
Sebagai langkah pencegahan, Dr. Quan menyarankan agar masyarakat mengenakan kacamata hitam bahkan saat musim dingin. “Orang-orang kurang memperhatikan atau menyadari bahwa di musim dingin, mereka sama berisikonya seperti di musim panas. Jumlah sinar UV yang Anda terima umumnya bahkan lebih tinggi,” pungkasnya.