Pewarta Network
Sabtu, Januari 18, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
Lavender marriage adalah pernikahan untuk menutupi orientasi seksual yang belum diterima masyarakat. (Dok. Liputan 6). |
PEWARTA.CO.ID - Belakangan ini, istilah lavender marriage atau pernikahan lavender menjadi topik hangat di media sosial dan trending di Google pada Sabtu, 18/1/2025. Meskipun terdengar asing, konsep ini mengacu pada pernikahan yang dilakukan sebagai upaya untuk menyembunyikan orientasi seksual seseorang, khususnya yang tidak diterima oleh norma sosial.
Lavender marriage bukanlah pernikahan yang didasari oleh cinta sejati antara pasangan, melainkan bentuk kompromi sosial. Pernikahan ini sering terjadi ketika salah satu atau kedua pasangan ingin menjaga citra di tengah masyarakat yang cenderung tidak menerima orientasi seksual tertentu, seperti lesbian, gay, atau biseksual.
Psikolog anak, remaja, dan keluarga, Ayoe Sutomo, menjelaskan bahwa pernikahan ini biasanya dilakukan karena tekanan sosial yang kuat.
"Biasanya memang dilakukan oleh individu dengan orientasi seksual lesbian, gay, atau biseksual yang sebetulnya secara umum masyarakat masih kurang bisa untuk menerima kondisi tersebut," ungkap Ayoe.
Dalam situasi ini, pasangan menikah demi memenuhi ekspektasi sosial, baik dari keluarga, teman, maupun lingkungan profesional, tanpa keterbukaan tentang orientasi seksual sebenarnya.
Ciri-Ciri lavender marriage
Ciri-ciri pasangan dalam lavender marriage tidak mudah dikenali dari luar. Pasangan tersebut mungkin tampak biasa saja dalam interaksi sehari-hari tanpa adanya tanda-tanda yang mencolok. Namun, menurut Ayoe, perasaan emosional yang tumbuh di antara pasangan bisa menjadi indikasi tersembunyi. Hal ini tidak selalu kasat mata tetapi dapat dirasakan oleh mereka yang terlibat.
Dampak psikologis bagi pasangan
Pernikahan lavender bisa membawa dampak psikologis yang signifikan, terutama bagi salah satu atau kedua pasangan yang menjalani hubungan ini tanpa cinta yang tulus. Beban emosional akibat menyembunyikan orientasi seksual atau menjalani pernikahan yang tidak sesuai dengan keinginan hati dapat memengaruhi kesejahteraan mereka.
"Ini kan tentunya akan menyakiti banyak pihak, menyakiti pasangan, menyakiti keluarga," jelas Ayoe.
Selain itu, konflik emosional sering muncul ketika salah satu pasangan merasa hubungan ini berkembang melampaui kesepakatan awal.
"Kadang ada perasaan atau emosi yang tidak bisa untuk dimanage atau terkelola dengan baik," tambahnya.
Ketegangan ini dapat memunculkan rasa tidak bahagia yang berkepanjangan, terutama jika perasaan cinta yang mendalam hanya dirasakan oleh salah satu pihak.
Risiko dan kesulitan dalam lavender marriage
Menurut Ayoe, sulitnya mengelola emosi dan tekanan sosial membuat pasangan dalam pernikahan lavender rentan terhadap ketidakbahagiaan. Jika pasangan tidak merasakan hubungan emosional yang sejajar, konflik batin bisa menjadi semakin parah.
Dampak lainnya, pasangan yang merasa terjebak dalam pernikahan ini sering kali menghadapi tekanan psikologis yang berat, yang berpotensi merusak kebahagiaan jangka panjang mereka.
Lavender marriage menggambarkan kompleksitas hubungan yang dijalani demi memenuhi ekspektasi sosial, tetapi dengan risiko besar pada kesejahteraan emosional para pihak yang terlibat. Hal ini menjadi pengingat bahwa penerimaan terhadap orientasi seksual merupakan langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang inklusif dan penuh empati.