Redaksi Pewarta.co.id
Jumat, Juli 04, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Budaya Pacu Jalur viral dan mendunia gegara tren Aura Farming. (Dok. Pemkab Kuantan Singingi) |
PEWARTA.CO.ID — Tradisi Pacu Jalur dari Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, tengah menjadi pusat perhatian dunia.
Video unggahan akun resmi klub sepak bola ternama asal Prancis, Paris Saint-Germain (PSG), mendadak membuat budaya lokal ini mendunia.
Namun, alih-alih memperkuat identitas budaya Indonesia, fenomena ini justru memantik kontroversi lantaran budaya tersebut diklaim berasal dari negara lain.
Dalam video singkat yang viral di media sosial PSG, tampak sejumlah pemain menirukan gerakan penari di haluan perahu khas Pacu Jalur. Gerakan itu kini dikenal luas di internet dengan sebutan "aura farming", dan sontak memicu kehebohan di kalangan warganet internasional.
Sayangnya, banyak komentar dari luar negeri yang justru keliru mengenali asal budaya tersebut.
Pernyataan menyesatkan bermunculan, mulai dari “It’s trend from Vietnam, not Indonesia. Proud Vietnam culture,” hingga klaim dari Filipina dan Malaysia.
Bahkan ada yang mengatakan, “Pacu jalur form Thailand, thaipride bro.” Tak sedikit pula akun asal Malaysia yang menyebut tradisi ini bagian dari budaya Melayu yang lebih luas, tanpa menyebutkan keterkaitannya dengan Indonesia.
Sejumlah tokoh dan pemerhati budaya angkat bicara. Mereka menegaskan bahwa Pacu Jalur merupakan tradisi asli masyarakat Kuansing yang telah ada sejak abad ke-17.
Tradisi ini bukan hanya perlombaan perahu panjang, tapi juga bagian dari identitas dan warisan budaya yang melekat erat di Provinsi Riau.
Setiap bulan Agustus, Pacu Jalur digelar untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia. Perahu panjang yang dikenal dengan sebutan "jalur" dihias dengan ornamen warna-warni dan ditumpangi puluhan pendayung yang mendayung secara serempak, diiringi irama dan gerakan penari di ujung haluan.
![]() |
Festival Pacu Jalur menjadi event tahunan yang digelar Pemkab Kuantan Singingi. |
Tradisi ini bukan sekadar lomba, melainkan cerminan nilai-nilai gotong royong, solidaritas, dan semangat kebersamaan yang dijunjung tinggi masyarakat setempat.
“Pacu Jalur bukan hanya milik Kuansing, tapi juga Indonesia. Kami bangga karena dunia mengapresiasi, tapi jangan sampai ada yang mengklaim sepihak,” ujar seorang tokoh budaya Riau.
Menyikapi klaim sepihak dari negara lain, pemerintah daerah setempat segera mengambil langkah untuk menegaskan keaslian tradisi ini. Mereka mengingatkan pentingnya upaya kolektif dalam menjaga orisinalitas budaya bangsa.
Viralnya Pacu Jalur di kancah internasional memang membawa potensi promosi budaya Indonesia secara global, tetapi di sisi lain juga mengingatkan akan bahayanya jika budaya lokal tak dilindungi secara hukum dan sosial.
Perlindungan budaya tradisional seperti Pacu Jalur menjadi penting, terlebih di era digital seperti sekarang, di mana konten dapat tersebar dan diklaim oleh siapa pun dalam hitungan detik.
Kekayaan budaya tidak cukup hanya dirayakan, tetapi juga harus diperkuat melalui dokumentasi, edukasi, dan pengakuan formal dari lembaga budaya nasional maupun internasional.
Alih-alih terpancing emosi, masyarakat Kuansing justru melihat fenomena ini sebagai momentum positif untuk meningkatkan kesadaran budaya. Banyak pemuda dan pelajar yang kini semakin aktif terlibat dalam pelatihan Pacu Jalur dan pelestarian nilai-nilai budayanya.
Festival tahunan yang biasa digelar pun kini disambut dengan semangat baru. Dukungan masyarakat, pemerintah, dan komunitas budaya kian menguat demi menjaga Pacu Jalur tetap lestari.
Tradisi ini tidak hanya dijaga oleh mereka yang tinggal di kampung halaman, tapi juga diaspora Kuansing yang tersebar di berbagai kota besar Indonesia. Mereka ikut mempromosikan budaya ini melalui media sosial dan berbagai kegiatan seni budaya di luar daerah.