Hammad Hendra
Senin, Januari 06, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
Pakar: Parpol harus siap dari sekarang usai penghapusan ambang batas Pilpres. (Dok. ANTARA) |
PEWARTA.CO.ID - Pakar Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (Unpad) Yusa Djuyandi menegaskan bahwa partai politik perlu segera bekerja mempersiapkan kader terbaiknya untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, menyusul penghapusan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
"Parpol harus mulai menyiapkan kader atau melakukan penjaringan internal sejak dini," ujar Yusa, Senin (6/1).
Peluang baru bagi parpol
Menurut Yusa, penghapusan presidential threshold oleh Mahkamah Konstitusi (MK) membuka peluang bagi semua parpol, termasuk yang tidak memiliki banyak kursi di DPR, untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Hal ini memberikan ruang lebih luas bagi masyarakat untuk memilih calon pemimpin negara dari berbagai latar belakang.
Namun, Yusa menekankan pentingnya pengalaman bagi calon presiden dan wakil presiden.
"Syarat pengalaman sebagai pemimpin di pemerintahan atau dalam perpolitikan perlu dipertimbangkan. Selain itu, batas usia minimal 45 tahun penting untuk memastikan kedewasaan dan pengalaman mereka," katanya.
Putusan MK dan dampaknya
Pada Kamis (2/1), MK menghapus ketentuan presidential threshold dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024.
MK menyatakan bahwa ambang batas ini melanggar hak politik dan kedaulatan rakyat, serta berpotensi menciptakan polarisasi yang membahayakan persatuan nasional.
Sebelumnya, aturan tersebut membatasi partai atau koalisi partai yang dapat mencalonkan presiden hanya jika memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya.
Dengan dihapuskannya ketentuan ini, setiap parpol peserta pemilu kini memiliki hak untuk mencalonkan kandidat, tanpa memandang perolehan kursi atau suara.
Masa depan politik Indonesia
Yusa memandang bahwa penghapusan ambang batas akan memperbanyak kandidat dalam pilpres mendatang.
Hal ini, menurutnya, dapat memperkaya pilihan rakyat, tetapi juga membawa tantangan dalam hal kualitas calon.
"Dengan lebih banyak pilihan, masyarakat harus lebih bijak memilih pemimpin yang memenuhi kriteria pengalaman, kompetensi, dan integritas," tambahnya.
Keputusan ini diharapkan mampu mendorong demokrasi yang lebih inklusif, meminimalkan polarisasi, dan menguatkan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin bangsa.