![]() |
| YOI School Terangi Kampung Cahaya di Tengah Gunungan Sampah. (Foto: Dok. Kompas) |
PEWARTA.CO.ID — Deretan rumah sempit yang menempel di tembok pemakaman Belanda Menteng Pulo dan bayang-bayang Mal Kota Kasablanka jadi latar berdirinya YOI School, sebuah sekolah nonformal di Kampung Cahaya, Kelurahan Menteng Atas, Jakarta Pusat.
Di antara tumpukan karung dan botol plastik, suara anak-anak bermain bola terdengar riuh, memecah bau sampah yang menusuk.
Dulu, wilayah ini lebih dikenal sebagai Kampung Gasong, kampung pemulung yang bertahan hidup dari sisa-sisa kota. Kini, dari sudut yang kerap dicap kumuh itu, lahir “cahaya” bernama Bilik Pintar yang kemudian berkembang menjadi YOI School (Yayasan Obama Indonesia).
Dari garasi sederhana hingga melahirkan mahasiswa
YOI School lahir dari kegelisahan Teguh Suprobo (58), pria asal Brebes yang akrab disapa Bowo. Bersama sang istri, Asmonah (48), ia membuka warung kecil di rumah sekaligus mengelola ruang belajar bagi anak-anak sekitar.
“Awalnya, sekitar tahun 2012–2013, kami bikin semacam homeschooling kecil di sini. Kalau di luar negeri orang mulai dari garasi, ya kami juga begitu,” ujar Bowo sambil tersenyum mengenang masa awal perjuangannya, Rabu (12/11/2025).
Saat itu, mayoritas warga Kampung Gasong berprofesi sebagai pemulung. Banyak anak kesulitan mengakses sekolah formal karena keterbatasan biaya dan dokumen. Dari situ, Bowo menggagas tempat belajar darurat di tengah tumpukan karung dan botol bekas.
“Kami kasih nama Obama Edu Care, cikal bakal dari Bilik Pintar atau YOI School sekarang. Kenapa Obama? Karena bagi kami, itu simbol semangat perubahan dan pendidikan,” tuturnya.
Ia menegaskan, nama itu bukan sekadar supaya terdengar keren, melainkan simbol nilai yang ingin ditanamkan: kemandirian, keberanian, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah pintu perubahan.
“Kami ingin tempat ini jadi ruang berbagi pengetahuan. Siapa pun bisa belajar dan mengajar,” kata dia.
Dari awal yang hanya diikuti segelintir anak, kini YOI School mengajar puluhan murid dari berbagai jenjang.
“Awalnya cuma tiga sampai lima murid. Sekarang sudah puluhan. Bahkan ada yang kuliah, sampai semester tujuh, jurusan hukum,” ujar Bowo penuh bangga.
Sejak 2022, YOI School menjalin kerja sama dengan Universitas Al Azhar Indonesia. Melalui MOU beasiswa, setiap tahun ada satu anak dari Kampung Cahaya yang bisa melanjutkan kuliah.
“Dari anak-anak pemulung jadi mahasiswa, itu luar biasa. Walaupun kecil, ini langkah maju,” katanya.
Dari Kampung Gasong ke Kampung Cahaya
Perlahan, citra Kampung Gasong mulai bergeser. Hadirnya YOI School dan dukungan Yayasan Baitul Maal PLN (YBM PLN) sejak 2019 membuat warga ingin mengubah cara kampung mereka dipandang.
“Kami ingin tempat ini dikenal bukan karena sampahnya, tapi karena cahaya pengetahuannya,” kata Bowo.
YBM PLN membantu membangun fasilitas belajar, MCK, hingga wahana bermain anak. Bantuan itu bermula dari kisah pilu anak-anak Kampung Gasong yang pernah dilarang bermain ayunan di kompleks tetangga karena dianggap “bukan anak kompleks”.
“Saya doa waktu itu, semoga anak-anak punya ayunan sendiri. Enggak lama, PLN datang bantu. Sekarang mereka punya ayunan, meja pingpong, buku, dan ruang belajar sendiri,” kenang Asmonah.
Bagi Asmonah, tinggal di Kampung Cahaya bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi soal harga diri.
“Saya cuma ingin anak-anak di sini enggak lagi dipandang sebelah mata. Kami boleh tinggal di atas tanah kuburan, tapi kami punya semangat hidup dan cita-cita yang sama seperti orang lain di Menteng,” ucapnya tegas.
Asmonah sudah 18 tahun menetap di sana. Ia termasuk gelombang kedua warga yang datang setelah penggusuran di kawasan Menteng Atas pada 2007. Saat itu, warga hanya menerima kompensasi Rp 1.000.000 tanpa hunian pengganti.
“Kontrakan saja Rp 500.000 sebulan. Anak banyak, sekolah juga. Akhirnya banyak yang pindah ke sini. Dulu masih rawa dan penuh ular, tapi dijalani saja,” ujarnya.
Hidup keras membuat warga terbiasa mengandalkan diri sendiri.
“Kalau pemerintah mau gusur, ya tolong sediakan tempat dan pekerjaan. Jangan cuma disuruh pergi lalu dibiarkan lapar,” katanya.
Hidup numpang di atas tanah TPU
Rumah-rumah di Kampung Cahaya berdiri berhimpitan, sebagian berdinding seng, sebagian lain dari papan bekas. Banyak yang hanya berukuran sekitar 3x4 meter dan dihuni empat hingga enam orang.
Di sela-sela rumah bergelantungan jemuran pakaian, berdampingan dengan karung besar berisi botol dan kardus bekas. Di depan pintu, deretan tanaman kecil dalam pot dari botol plastik menunjukkan usaha warga menjaga secuil keasrian.
Di tengah kepadatan itu, kekhawatiran soal masa depan tempat tinggal selalu menghantui. Nuria (60), salah satu warga tertua, sudah tiga dekade tinggal di sana.
“Dulu cuma tiga rumah. Tetangga saya malah ikan sama ular. Sekarang sudah ramai, tapi ya tanah ini bukan punya kami, cuma numpang,” katanya pelan.
Karena lahan yang ditempati masuk area pemakaman, ancaman penggusuran selalu terasa.
“Kalau disuruh pindah, saya mau makan dari mana? Anak saya kerja di sini juga. Kami nyaman karena enggak perlu bayar kontrakan. Tapi kalau yang punya tanah mau pakai, ya saya harus pergi,” ujarnya.
Nuria hanya punya satu harapan sederhana.
“Saya pengennya bisa tinggal di sini sampai mati. Hidup di sini sudah terbiasa, yang penting rukun,” katanya.
Kisah serupa datang dari Cipto (75), pemulung sepuh yang sudah 30 tahun menggantungkan hidup pada tumpukan sampah di sekitar kampung.
“Saya dan istri dulu pindah ke sini karena digusur dari Manggarai. Di sini katanya tanah TPU, tapi enggak ada pilihan lain,” ujarnya.
Mereka bekerja bergantian: sang istri berangkat memulung pada malam hari, Cipto menyambung di pagi hari.
“Paling dapat lima puluh ribu, kadang di bawahnya. Kalau dulu, ya lumayan. Sekarang bersyukur aja yang ada,” katanya.
Sampah menggunung, jalan kian menyempit
Seiring perbaikan tempat pembuangan sementara (Dipo Menteng Atas), volume sampah di sekitar kampung kian menumpuk. Akses kendaraan pun terganggu.
“Sekarang sampahnya udah dua meter. Mobil susah keluar masuk. Kadang orang luar juga buang ke sini, dikira bebas,” tuturnya.
Kondisi itu membuat kampung seolah terkepung sampah, meski warga tetap berupaya menjaga kebersihan sebisa mungkin di sekitar rumah.
DLH klaim pengelolaan sampah sedang dibenahi
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta mengakui pengelolaan sampah di wilayah Menteng Atas sedang dalam proses pembenahan. Juru Bicara DLH, Yogi Ikhsan, menjelaskan arah kebijakan pengelolaan sampah di kawasan tersebut.
“Seluruh area tertuju ke Dipo Menteng Atas, yang sedang ditingkatkan menjadi TPS3R (Tempat Pengelolaan Sampah Reduce-Reuse-Recycle),” ujar Yogi kepada Kompas.com.
Ia menegaskan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan pembinaan dan sosialisasi ke warga, termasuk komunitas pemulung.
“Kami berupaya agar pengelolaan sampah lebih tertata dan berdampak positif bagi masyarakat,” kata Yogi.
Meski demikian, hingga kini belum ada program khusus yang menyasar komunitas pemulung di Kampung Cahaya.
“Belum ada rencana khusus, tapi DLH selalu terbuka berkolaborasi,” ujarnya.
Kampung dalam bayang gedung tinggi, tapi penuh harapan
Hanya ratusan meter dari gedung kaca dan mal mewah, Kampung Cahaya seperti dunia lain yang terpisah dari hiruk-pikuk Jakarta modern. Anak-anak pemulung menggiring bola plastik di sela karung sampah, sementara suara azan dari masjid kecil menyatu dengan riuh tawa mereka.
“Dulu orang mengenal kami Kampung Gasong, tempat pemulung dan sampah. Sekarang kami ingin dikenal sebagai Kampung Cahaya, karena dari sinilah cahaya pengetahuan lahir,” ujar Bowo menutup pembicaraan.
Bagi warga, pendidikan bukan sekadar gelar. Lebih dari itu, pendidikan adalah cara memastikan generasi berikutnya tidak perlu lagi menggantungkan hidup dari sisa-sisa kota. Dari sekolah mungil di tengah gunungan sampah itu, anak-anak belajar bahwa perubahan bisa dimulai dari ruang sekecil apapun.
Pengamat tata kota Denny Zulkaidi menilai kampung seperti Kampung Cahaya adalah bagian penting dari wajah Jakarta yang berlapis.
“Kampung dalam kota bisa dipertahankan kalau memiliki karakter khas atau nilai luar biasa, seperti solidaritas atau inisiatif pendidikan warga,” ujarnya.
Dan mungkin, nilai itu justru sangat nyata di Kampung Cahaya: di tangan para pemulung, di ruang belajar sederhana YOI School, dan di tekad warga yang percaya bahwa cahaya tidak selalu turun dari gedung-gedung tinggi—kadang justru menyala dari tumpukan sampah.
Sumber: Kompas.com


















































