Dokter Paparkan Ciri-Ciri dan Penyebab Epilepsi, Bukan Sekadar Kejang Mulut Berbusa

6 hours ago 4

Pewarta Network

Pewarta Network

Rabu, Maret 12, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

Dokter Paparkan Ciri-Ciri dan Penyebab Epilepsi, Bukan Sekadar Kejang Mulut Berbusa
Ilustrasi - Demam tinggi bisa menyebabkan kejang pada anak. (Dok. Google Image).

PEWARTA.CO.ID - Epilepsi sering kali dikaitkan dengan kejang yang menyebabkan mulut berbusa. Namun, menurut dokter spesialis neurologi dari Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, Chairunnisa, gejala epilepsi sangat beragam, termasuk kondisi yang sering tidak disadari seperti melamun atau sakit kepala.

Dalam gelar wicara "Hari Epilepsi Sedunia 2024" yang disiarkan melalui kanal YouTube RSPON Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, dr. Chairunnisa menjelaskan bahwa banyak orang awam masih memiliki pemahaman yang keliru mengenai epilepsi. Salah satunya adalah mengira bahwa kejang dengan mulut berbusa merupakan satu-satunya tanda epilepsi, bahkan ada yang menganggapnya sebagai kesurupan.

"Ada juga yang sederhana seperti bengong. Orang kan selama ini, 'ah saya bengong, biasa lah dok yang namanya bengong'. Tapi ternyata itu gejala epilepsi yang bentuknya blank. Jadi pasiennya ya blank, bengong, tapi dia tidak sadar," katanya.

Epilepsi: lebih dari sekadar kejang

Dr. Chairunnisa menegaskan bahwa epilepsi bukan sekadar kondisi tunggal, melainkan sebuah sindrom yang mencakup beberapa gejala. Kondisi ini ditandai dengan kejang yang terjadi berulang kali tanpa adanya pemicu tertentu.

"Kejang yang berulang lebih dari 24 jam tanpa pencetus itu yang kita sebut dengan epilepsi," jelasnya.

Namun, ia juga menekankan bahwa tidak semua kasus kejang berarti seseorang menderita epilepsi. Kejang sendiri terjadi akibat aktivitas listrik yang abnormal di otak, yang bisa dipicu oleh berbagai faktor.

Selain kejang, ciri lain epilepsi yang sering diabaikan adalah sakit kepala kronis yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Beberapa penderita juga mengalami sensasi tertentu yang disebut aura, yang muncul beberapa detik atau menit sebelum serangan epilepsi terjadi.

Aura ini bisa berupa gangguan pada indra pendengaran dan penglihatan, bahkan memicu fenomena déjà vu (merasa mengalami sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya) atau jamais vu (tidak mengenali sesuatu yang seharusnya familiar).

"Atau yang paling sering lagi disebut dengan epigastric discomfort. Jadi pasiennya merasa ada sensasi yang tidak nyaman. Dari mulut hati terus naik ke atas seperti muntah gitu ya. Itu juga merupakan salah satu aura yang paling sering juga bisa jadi bagian dari epilepsi," tambahnya.

Selain itu, dr. Chairunnisa menyebut bahwa gerakan-gerakan halus atau kedutan yang tidak biasa juga bisa menjadi indikasi epilepsi, sehingga perlu segera diperiksa oleh tenaga medis.

Penyebab dan faktor risiko epilepsi

Mengenai penyebab epilepsi, dr. Chairunnisa menyebutkan bahwa ada dua faktor utama, yaitu faktor genetik dan simptomatik. Faktor genetik berkaitan dengan riwayat keluarga yang memiliki kecenderungan epilepsi. Sementara itu, faktor simptomatik berarti adanya gangguan di otak yang memicu kondisi ini, seperti tumor, infeksi, atau trauma saat proses kelahiran.

Selain penyebab utama, terdapat pula faktor pemicu yang bisa memperburuk kondisi epilepsi. Salah satu pencetus yang sering terjadi adalah terlalu lama menatap layar, baik dari televisi maupun ponsel pintar.

Meskipun epilepsi tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, kondisi ini bisa dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Namun, dalam satu persen kasus, penderita epilepsi dapat mengalami kematian mendadak akibat epilepsi atau Sudden Unexpected Death in Epilepsy (SUDEP). Penyebab pasti dari kondisi ini masih belum diketahui, tetapi diduga terkait dengan gangguan pernapasan dan jantung.

Pentingnya gizi seimbang bagi penderita epilepsi

Dalam kesempatan yang sama, ahli gizi Masruroh Mastin menekankan pentingnya menjaga asupan gizi seimbang bagi penderita epilepsi. Dengan nutrisi yang baik, daya tahan tubuh tetap terjaga dan risiko infeksi yang dapat memperburuk kondisi epilepsi bisa diminimalisir.

Pemahaman yang lebih baik mengenai epilepsi dapat membantu mengurangi stigma di masyarakat serta memastikan penderita mendapatkan perawatan yang tepat. Dengan pengelolaan yang baik, penderita epilepsi tetap bisa menjalani kehidupan yang normal dan produktif.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |