Penurunan Tarif Impor AS-China: Peluang Baru bagi UMKM Indonesia

12 hours ago 8

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Selasa, Mei 13, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

 Peluang Baru bagi UMKM Indonesia
Konsultan Bisnis Kerakyatan Wirson Selo. ANTARA

PEWARTA.CO.ID - Langkah Amerika Serikat (AS) dan China untuk menurunkan tarif impor sebagai hasil negosiasi dagang baru-baru ini membawa angin segar bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia.

Meski memberikan harapan baru, pelaku UMKM diingatkan untuk tetap waspada dan tidak cepat merasa aman dalam menghadapi dinamika pasar global.

Menurut Konsultan Bisnis Kerakyatan, Wirson Selo, penurunan tarif ini bisa menjadi titik awal yang positif, namun tidak boleh disikapi secara berlebihan.

Ia menekankan bahwa dunia bisnis bersifat fluktuatif dan penuh tantangan yang terus berubah.

"Perang dagang sejatinya sudah terjadi sejak ratusan tahun lampau, kita mengenal jalur sutra sebagai jalur perdagangan yang melintasi kawasan Asia, di mana para pedagang jual beli rempah dan produk tenun serta produk perkakas," ujar Wirson Selo dalam keterangannya di Depok, Jawa Barat, Selasa.

Dalam pertemuan tingkat tinggi antara pejabat AS dan China yang berlangsung di Jenewa, Swiss, pada 10–11 Mei, disepakati penurunan signifikan pada tarif impor kedua negara.

Tarif atas produk China yang masuk ke AS dipangkas dari 145 persen menjadi 30 persen, sementara tarif barang AS yang masuk ke China turun dari 125 persen menjadi 10 persen.

Wirson menjelaskan bahwa di era modern, perang dagang menjadi isu yang lebih kompleks karena setiap negara memiliki regulasi dan kepentingannya masing-masing.

Persaingan ekonomi antarnegara kerap kali mengedepankan dominasi, bukan hanya kerja sama.

Ia menambahkan bahwa struktur perdagangan global saat ini membuat negara-negara saling bergantung satu sama lain dalam hal pertukaran barang.

Dalam konteks ini, negara-negara berusaha meningkatkan volume dan nilai ekspor sambil menekan ketergantungan terhadap produk impor.

"Proses yang sangat dinamis, bergerak dan bergeser dari waktu ke waktu sepanjang waktu, mencari titik keseimbangan perdagangan (equlibrium point)," kata Wirson.

Dampak perang dagang ini sempat membuat pelaku usaha cemas. Mereka harus meninjau kembali rantai pasok bahan baku, terutama yang berasal dari luar negeri, serta memetakan ulang produk yang dipasarkan ke luar negeri, termasuk AS.

UMKM yang terlibat dalam ekspor, khususnya ke pasar AS, turut terkena imbas karena banyak transaksi sudah dilakukan melalui perjanjian dan kontrak yang dibuat jauh sebelum perubahan tarif ini diberlakukan.

Hal ini sempat menimbulkan kegelisahan di kalangan pelaku usaha.

"Pada titik ini para pelaku usaha gelisah membaca arah dan pastinya memikirkan alternatif negara lain sebagai tujuan ekspor," katanya lagi.

Meski demikian, Wirson menilai kecemasan tersebut tidak berlangsung lama. Ia menyebut upaya pemerintah dalam melakukan negosiasi merupakan langkah penting untuk menjaga stabilitas ekspor.

"Situasi ini semestinya akan menjadi pemicu bagi para pelaku usaha untuk memperluas marketnya di luar negeri menjalin kerja sama perdagangan dengan banyak negara dan terus menambah varian produk ekspornya," ujarnya lagi.

Ia menegaskan bahwa perang dagang ini menjadi semacam “wake-up call” bagi UMKM.

Situasi global dan regulasi internasional terbukti menjadi faktor penentu utama dalam keberlanjutan usaha. Oleh karena itu, pelaku usaha perlu meningkatkan kemampuan adaptasi mereka.

Wirson juga menyoroti pentingnya pemerintah untuk menggencarkan dialog dagang dengan lebih banyak negara guna mengantisipasi risiko dari kebijakan luar negeri yang mungkin merugikan sektor UMKM.

Lebih lanjut, ia mengimbau pelaku usaha agar tidak bergantung pada satu atau dua sumber bahan baku saja.

Diversifikasi pasokan serta peningkatan aktivitas riset dan pengembangan dinilai penting agar pelaku usaha dapat lebih mandiri memanfaatkan potensi lokal.

Selain itu, ia mendorong UMKM untuk saling terkoneksi dan membangun jaringan kerja sama antarpelaku usaha.

Kolaborasi ini diharapkan bisa menghasilkan strategi bersama yang tangguh dan responsif terhadap krisis.

"Penguasa adalah penentu arah kebijakan, ketika kebijakan tidak satu napas dengan realitas di pelaku usaha, maka kebijakan yang diambil bisa saja menjadi kurang tepat, kesinambungan komunikasi dan dialog antara pelaku UMKM dan pengambil kebijakan senantiasa harus sinkron," ujar Wirson pula.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |