Hammad Hendra
Senin, Maret 17, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ketua MPR RI Ahmad Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/3/2025). (Dok. ANTARA) |
Jakarta, Pewarta.co.id – Ketua MPR RI, Ahmad Muzani, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dilakukan sebagai langkah adaptasi terhadap dinamika zaman.
Menurutnya, perubahan ini diperlukan mengingat regulasi tersebut belum mengalami pembaruan selama lebih dari dua dekade.
Urgensi revisi UU TNI
Muzani menekankan bahwa posisi TNI perlu diperkuat agar tetap relevan dengan kebutuhan pertahanan negara saat ini.
"Saya kira penguatan posisi TNI perlu dipertegas dan saya kira Undang-Undang TNI kan sudah dilakukan revisi terakhir 25 tahun lalu, hampir 25 tahun lalu, jadi penyesuaian-penyesuaian terhadap keadaan," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.
Ia juga menambahkan bahwa sebagai institusi vital bagi negara, TNI harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan zaman.
"Apalagi TNI sebuah kekuatan yang sangat penting, sangat vital perannya bagi negara. Saya kira penyesuaian-penyesuaian bagi posisi lembaga tersebut."
Perubahan yang diusulkan dalam revisi
Salah satu poin utama dalam revisi UU TNI adalah perpanjangan batas usia pensiun prajurit.
Muzani berpendapat bahwa perpanjangan tersebut perlu mempertimbangkan kondisi fisik prajurit yang masih prima meskipun telah mencapai usia pensiun saat ini.
"Kalau misalnya soal diperpanjang karena seseorang menjadi jenderal melalui sebuah tahapan yang panjang, dengan pendidikan yang panjang juga, dengan biaya yang juga sangat mahal (maka) ketika yang bersangkutan pensiun di usia 58 (tahun) rata-rata juga masih segar bugar dan masih cukup kuat," ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kemungkinan prajurit TNI menduduki jabatan sipil atau politik setelah pensiun dari dinas militer.
"Kalau presiden menyetujui saya kira enggak ada masalah, yang penting presiden memberikan persetujuan yang bersangkutan pensiun dari jabatan posisi yang aktif," katanya.
Ia menegaskan bahwa prajurit yang ditempatkan dalam jabatan sipil tertentu, di luar ketentuan UU TNI, harus lebih dulu mengundurkan diri dari kedinasan.
"Ya, kalau dia di situ ya harus mundur, dan yang ditempatkan di situ biasanya orang-orang yang memiliki kapasitas atau berminat dengan persoalan pertanian, peternakan, kan tentara meski memiliki keahlian dalam bidang dunia militer secara personal, tapi ada juga orang orang yang memiliki kemampuan dalam bidang-bidang teknis, pertanian, peternakan, perikanan dan sebagainya," jelasnya.
Menjaga supremasi sipil dalam revisi UU TNI
Agar supremasi sipil tetap terjaga, Muzani mengusulkan agar pengaturan terkait kedudukan dan penempatan prajurit aktif dalam kementerian atau lembaga negara dibuat lebih tegas dalam revisi undang-undang.
"Harus rigid di Undang-Undang TNI supaya sipil tidak merasa terganggu dan seterusnya, harus rigid peraturannya," tegasnya.
Ia juga menampik anggapan bahwa revisi UU TNI akan mengembalikan konsep dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.
"Saya kira enggak, saya kira dwifungsi otomatis apa saja bisa, ini kan ada beberapa yang batasan-batasanya," pungkasnya.
Dengan berbagai perubahan yang diusulkan, revisi UU TNI diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pertahanan negara yang semakin kompleks tanpa mengabaikan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.