Hadapi Tarif Trump: Indonesia Perlu Strategi Politik, Bukan Sekadar Respons Ekonomi

1 week ago 22

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Kamis, April 10, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

 Indonesia Perlu Strategi Politik, Bukan Sekadar Respons Ekonomi
Hadapi tarif Trump: Indonesia perlu strategi politik, bukan sekadar respons ekonomi. (Dok. Ist)

Jakarta, Pewarta.co.id – Langkah proteksionis yang ditempuh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, dalam bentuk tarif impor mendapat sorotan tajam dari kalangan akademisi.

Didik J. Rachbini, Guru Besar Ilmu Ekonomi sekaligus Rektor Universitas Paramadina, menegaskan bahwa keputusan tersebut lebih berakar pada manuver politik ketimbang pertimbangan ekonomi semata.

Oleh karena itu, ia menyerukan agar pemerintah Indonesia juga meresponsnya dengan pendekatan politik yang seimbang.

“Sekarang dalam situasi terguncang-guncang dan gonjang ganjing karena ulah satu orang yang berkuasa (langkah politik) yang berlaku bukan lagi teori ekonomi tetapi politik,” tulis Didik dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (10/4/2025).

Ia menekankan bahwa secara historis, ekonomi dan politik saling terkait erat.

Didik mengutip pandangan Adam Smith yang menjelaskan bahwa kesejahteraan ekonomi tercipta melalui interaksi antara individu, pasar, dan pemerintah.

Namun, dalam kondisi global saat ini, relasi tersebut berubah drastis.

Keputusan ekonomi tidak lagi didasarkan pada teori atau prinsip dasar ekonomi, melainkan ditentukan oleh agenda politik.

“Jadi betul Menteri Keuangan ketika berbicara berbicara di hadapan ekonom, anggota ISEI dan asosiasi. Pengusaha bahwa asas, hukum dan teori ekonomi tidak bisa dipakai lagi. Kebijakan ekonomi tidak lagi memadai atau bahkan bisa lagi diandalkan untuk menghadapi lengkah politik presiden Amerika Serikat ini,” ujarnya.

Lebih lanjut, Didik mempertanyakan efektivitas merumuskan kebijakan ekonomi sebagai respons terhadap persoalan yang sejatinya berasal dari ranah politik.

Menurutnya, solusi yang tepat adalah dengan menyelami akar permasalahan tersebut melalui pendekatan politik yang sistematis.

Sebagai tahap awal, Didik menekankan pentingnya membangun kesadaran kolektif baik di kalangan pembuat kebijakan, pelaku usaha, hingga masyarakat luas terhadap realitas bahwa proses demokrasi bisa melahirkan pemimpin yang kebijakannya tidak selaras dengan prinsip ekonomi.

“Kita harus menyadari dan menerima kenyataan pahit dan rasa campur aduk bahwa proses politik dan demokrasi bisa mendadak menghasilkan orang aneh seperti Donald Trump. Produk turunannya adalah politik juga, yang tiba-tiba membuat kebijakan yang tidak masuk nalar teori dan asas hukum ekonomi. Seluruh tatanan ekonomi dan perdagangan dunia yang didasarkan pada asas dan hukum ekonomi sudah dengan sendirinya roboh dan ambruk karena politik dan secara politik sah di negara demokrasi seperti Amerika Serikat,” ujarnya.

Dalam pandangan Didik, pemerintah, khususnya Presiden RI, harus menempuh strategi diplomasi politik sebagai respons atas dampak tarif Trump terhadap perdagangan Indonesia.

Dengan sekitar 11-13% ekspor nasional mengarah ke AS, penurunan 30% ekspor ke negara tersebut bisa berdampak hingga 3-4% terhadap total ekspor Indonesia.

“Porsi inilah yang harus segerfa digantikan dengan pasar baru dan kesepakatan baru dengan negara-negara lain, yang juga terkena dampaknya,” ujarnya.

Sebagai langkah strategis, Indonesia didorong untuk membangun konsolidasi politik melalui pembentukan poros ketiga bersama negara-negara di kawasan ASEAN, Asia Timur (Jepang, Korea Selatan, Taiwan), India, hingga Amerika Latin (Brasil, Meksiko).

Langkah ini dinilai penting agar Indonesia tidak terseret dalam konflik dagang antara AS dan China.

Didik pun membandingkan konteks ini dengan era Presiden Soekarno yang menggagas Konferensi Asia Afrika dengan semangat Bandung sebagai bentuk solidaritas global.

Ia menilai Presiden Prabowo memiliki semangat yang serupa dan berpotensi membawa pengaruh besar dalam kancah politik internasional.

“Jadi, sangat naif jika kita hanya merespon dengan kebijakan ekonomi dimana menurut Menteri Keuangan asas hukum dan teori ekonomi sudah tidak berlaku lagi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Didik menggarisbawahi pentingnya memadukan politik luar negeri dengan strategi perdagangan yang berfokus pada kawasan di luar Amerika Serikat, mengingat 88% ekspor Indonesia tidak bergantung pada pasar AS.

Ia melihat dinamika global saat ini sebagai bagian dari pergeseran kekuatan ekonomi dari kawasan Atlantik menuju Pasifik.

“Kepanikan Trump hanyalah krisis transisi sejarah dimana kekuatan ekonomi yang bergeser dari Atlantik ke Pasifik,” ujarnya.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |