Israel Klaim Buka Blokade, PBB: Gaza Masih Dihambat, Situasi Mirip Neraka

6 hours ago 4

Hammad Hendra

Hammad Hendra

Rabu, Mei 21, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

 Gaza Masih Dihambat, Situasi Mirip Neraka
Kendaraan militer Israel berdiri di dekat perbatasan Israel-Gaza, di Israel, 15 Mei 2025. (Dok. REUTERS/Amir Cohen)

PEWARTA.CO.ID - Meski Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini menyatakan telah mencabut blokade atas Jalur Gaza, fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

Badan-badan internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melaporkan bahwa akses terhadap bantuan kemanusiaan masih sangat terbatas, sementara penderitaan warga Gaza terus memburuk.

Bantuan masih terbatas meski janji dicabut

Jens Laerke, juru bicara Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), menyampaikan pada Selasa (20/5/2025) bahwa hanya lima truk bantuan yang berhasil memasuki Gaza.

Namun, distribusinya hingga kini belum diizinkan oleh otoritas Israel.

Sekitar 100 truk lainnya memang telah mendapatkan persetujuan, tetapi masih tertahan di perbatasan karena belum memperoleh izin melintas.

"Pengiriman tersebut bahkan hanya seperlima dari jumlah bantuan harian sebelum perang dimulai, ketika kondisi pangan masyarakat Gaza masih terpenuhi," ujar Laerke, dilansir The Guardian.

Pemerintah Israel sendiri mengklaim bahwa sebanyak 93 truk bantuan telah masuk pada hari yang sama.

Namun, tidak ada kejelasan apakah muatan berupa makanan dan obat-obatan itu benar-benar sudah disalurkan kepada warga sipil yang membutuhkan.

Dunia internasional desak tindakan nyata

Kondisi kelaparan akut yang mengancam lebih dari dua juta warga Gaza telah menuai reaksi keras dari masyarakat global.

Tekanan diplomatik terhadap Israel meningkat, mendorong Netanyahu pada Minggu malam untuk mengumumkan penghentian pengepungan.

Ia berdalih keputusan itu diambil demi menjaga reputasi Israel di mata dunia internasional.

Namun, klaim tersebut tidak serta merta diterima oleh berbagai pihak.

Kritik datang dari dalam negeri sendiri, termasuk dari kalangan oposisi.

Yair Golan, pemimpin partai Demokratik dan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, menyampaikan penilaiannya yang tajam terhadap kebijakan pemerintahan Netanyahu.

"Negara yang waras tidak berperang melawan warga sipil, tidak membunuh bayi sebagai hobi, dan tidak menjadikan pengusiran suatu populasi sebagai tujuan," kata Golan kepada stasiun radio Reshet Bet.

Ia menilai bahwa reputasi Israel telah hancur karena pendekatan militer yang dinilai terlalu brutal, dan bahkan membandingkan isolasi internasional Israel dengan Afrika Selatan pada masa apartheid.

Pernyataan Golan langsung dibalas Netanyahu, yang menyebutnya sebagai "fitnah antisemit yang hina terhadap tentara dan negara Israel."

Meski demikian, Golan tetap pada pendiriannya. Dalam sebuah konferensi pers, ia menegaskan bahwa meskipun konflik dimulai sebagai respons terhadap serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan lebih dari seribu kematian dan ratusan penculikan, perang ini telah berubah menjadi sesuatu yang disebutnya sebagai "perang yang korup."

Golan juga menyindir sikap kalangan kiri Israel yang dianggap terlalu takut untuk mengkritik secara terbuka krisis kemanusiaan di Gaza.

Aktivis damai dibungkam, ekstremis dibiarkan

Sementara suara-suara yang membela kemanusiaan dibungkam, aksi kelompok ekstremis justru tampak mendapat toleransi.

Senin lalu, beberapa aktivis anti-perang ditangkap oleh aparat Israel karena menggelar unjuk rasa damai di dekat perbatasan Gaza.

Mereka membawa gambar anak-anak Palestina yang menjadi korban serangan udara.

Aktivis-aktivis ini, termasuk Alon-Lee Green dari gerakan Standing Together, bahkan sempat dikenai tahanan rumah.

"Ketika demonstran damai diseret ke pengadilan, pemukim ekstremis sayap kanan justru diizinkan masuk ke Gaza secara ilegal, menyerang warga Palestina di Tepi Barat, dan menyelenggarakan konferensi pemukiman di perbatasan Gaza dengan impunitas penuh. Ini mengungkap standar ganda berbahaya dalam penggunaan kekuatan oleh negara," tulis Standing Together dalam sebuah pernyataan.

Serangan masif dan korban sipil terus bertambah

Di tengah klaim deeskalasi, serangan Israel baik melalui udara maupun darat masih terus dilancarkan.

Pada Selasa, serangan udara dilaporkan menewaskan sedikitnya 85 orang, termasuk serangan ke rumah penduduk dan sebuah sekolah yang digunakan sebagai tempat berlindung di wilayah utara Gaza.

Dari jumlah tersebut, Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan bahwa 22 korban adalah perempuan dan anak-anak.

Sementara itu, wilayah Khan Younis di bagian tengah Gaza kembali ditetapkan sebagai zona tempur, memaksa warga yang sudah kelelahan dan kelaparan untuk mengungsi lagi.

Sayangnya, tidak ada tempat yang benar-benar aman di wilayah ini.

Hingga kini, jumlah korban jiwa akibat agresi militer Israel telah menembus angka 53.000.

Laporan terbaru UN Women menyebutkan bahwa lebih dari 28.000 dari korban tewas adalah perempuan dan anak-anak, mengindikasikan dampak besar terhadap populasi sipil.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |