Redaksi Pewarta.co.id
Minggu, Maret 30, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ilustrasi. Daun ganja. (Dok. Internet) |
PEWARTA.CO.ID - Ganja dan kecubung sama-sama memiliki efek sebagai obat penenang serta dapat menyebabkan halusinasi jika disalahgunakan. Namun, secara hukum, keduanya mendapat perlakuan yang berbeda di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Ganja dikategorikan sebagai narkotika dan dilarang penggunaannya, sementara kecubung tidak masuk dalam daftar zat terlarang.
Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, kecubung tidak diklasifikasikan sebagai narkotika atau psikotropika karena tidak menimbulkan kecanduan.
Namun, penyalahgunaan kecubung tetap berbahaya. Seperti yang terjadi beberapa waktu lalu di Kalimantan Selatan, di mana 49 orang mengalami dampak serius akibat mengonsumsi kecubung, bahkan dua di antaranya meninggal dunia.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika serta Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 41 Tahun 2017, kecubung tidak tercantum dalam daftar narkotika.
Sementara itu, ganja dikategorikan sebagai zat yang menyebabkan halusinasi, penurunan kesadaran, serta ketergantungan, sehingga penggunaannya dilarang.
Staf Deputi Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN), dr. Jody, menjelaskan bahwa regulasi narkotika di Indonesia mengacu pada konvensi internasional yang diselenggarakan oleh Commission on Narcotic Drugs United Nations Office on Drugs and Crime (CND UNODC) di Wina, Austria.
Dalam konvensi tersebut, kecubung tidak diklasifikasikan sebagai narkotika, sehingga peraturan di Indonesia juga menyesuaikan.
Menariknya, peraturan internasional ini terus berkembang. Pada tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan agar ganja direklasifikasi dari daftar narkotika yang paling berbahaya.
WHO menyatakan bahwa zat seperti cannabidiol (CBD) dalam ganja tidak berpotensi menyebabkan ketergantungan dan justru memiliki manfaat medis.
Namun, dalam pertemuan CND UNODC pada Desember 2020, hanya sebagian rekomendasi WHO yang diterima. Ganja dan resin ganja tetap dikategorikan sebagai zat dengan tingkat penyalahgunaan yang setara dengan morfin dan oksikodon, yang berpotensi menyebabkan ketergantungan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Frans D. Suyatna, menilai bahwa penggunaan ganja dalam pengobatan hanya bersifat simtomatik dan tidak menyembuhkan penyakit sepenuhnya.
"Ganja sebagai obat hanya bersifat simtomatik, bukan menyembuhkan. Lebih banyak digunakan untuk menikmati euforia, halusinasi, dan efek psikoaktif yang mempengaruhi kejiwaan," ujar Frans, dikutip dari laman resmi BNN pada 1 September 2020.
Di sisi lain, kecubung mengandung skopolamin, atropin, dan hiosiamina yang memiliki manfaat dalam dunia medis, seperti mengatasi mabuk perjalanan, kejang, parkinson, serta gangguan jantung. Namun, efek sampingnya sangat berbahaya, mulai dari sakit kepala, gangguan penglihatan, mual, hingga kematian.
Kecubung juga lebih mudah diakses dibandingkan ganja. Tanaman ini sering ditemukan di lingkungan sekitar dan bahkan digunakan sebagai tanaman hias karena bunga trompetnya yang mencolok. Hal ini membuat regulasi terhadap kecubung lebih sulit dibandingkan dengan ganja yang sudah lama dilarang.
Baik ganja maupun kecubung memiliki manfaat sekaligus risiko tinggi jika disalahgunakan. Di beberapa negara, perdebatan mengenai legalisasi ganja untuk kepentingan medis terus berlangsung.
Begitu pula dengan kecubung yang meskipun tidak dilarang, tetap dapat membahayakan nyawa jika digunakan secara tidak bertanggung jawab.
Perkembangan terbaru mengenai regulasi narkotika di dunia seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. Mungkin di masa depan, ada diskusi lebih lanjut mengenai apakah kedua tanaman ini tetap harus dilarang, dilegalkan dalam batas tertentu, atau diatur lebih ketat sesuai dengan pertimbangan medis dan hukum.