UGM Pecat Guru Besar Pelaku Kekerasan Seksual di Fakultas Farmasi, Korban Didampingi Satgas Khusus

19 hours ago 10

Redaksi Pewarta.co.id

Redaksi Pewarta.co.id

Senin, April 07, 2025

Perkecil teks Perbesar teks

UGM Pecat Guru Besar Pelaku Kekerasan Seksual di Fakultas Farmasi, Korban Didampingi Satgas Khusus
UGM memecat dosen bernisial EM yang terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa/i.

PEWARTA.CO.ID – Universitas Gadjah Mada (UGM) mengambil langkah tegas terhadap dosen berinisial EM dari Fakultas Farmasi, yang terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa.

Pimpinan universitas secara resmi memecat EM dari jabatannya sebagai dosen, menyusul hasil penyelidikan internal yang menguatkan bukti pelanggaran berat.

Keputusan ini tertuang dalam SK Rektor UGM Nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tertanggal 20 Januari 2025, setelah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) UGM menyatakan EM bersalah karena melanggar peraturan rektor serta kode etik dosen.

“Pimpinan UGM sudah menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku,” kata Sekretaris Universitas UGM, Andi Sandi, dalam keterangannya di Yogyakarta, Minggu (6/4/2025).

Dugaan kekerasan seksual oleh EM mencuat sepanjang 2023 hingga 2024 dan mulai dilaporkan ke pihak kampus pada Juli 2024.

Satgas PPKS UGM segera melakukan pendampingan terhadap korban dan membentuk Komite Pemeriksa berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 750/UN1.P/KPT/HUKOR/2024. Proses pemeriksaan berlangsung selama tiga bulan, dari 1 Agustus hingga 31 Oktober 2024.

Menurut Andi, modus yang digunakan pelaku adalah pendekatan akademik dengan kedok bimbingan atau diskusi, bahkan sering dilakukan di luar lingkungan kampus.

“Ada diskusi, ada bimbingan, ada juga pertemuan di luar untuk membahas kegiatan-kegiatan ataupun lomba yang sedang diikuti,” ujarnya.

Dalam proses investigasi, Komite Pemeriksa mendalami keterangan 13 orang yang terdiri dari korban dan saksi. Namun, pihak kampus tidak merinci apakah semua merupakan mahasiswa atau termasuk tenaga pendidik lainnya.

“Saksi dan korban ada sekitar 13 orang yang diperiksa. Tetapi kalau ditanya apakah ini seluruhnya mahasiswa ataupun ada juga tendik (tenaga pendidik) dosen, kami tidak melihat detail itu,” jelas Andi.

Dari hasil pemeriksaan, EM terbukti melanggar Pasal 3 ayat (2) huruf l dan m dalam Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 terkait kekerasan seksual, serta melanggar etika profesi dosen.

Sebelumnya, sebagai langkah preventif, EM telah dibebastugaskan dari seluruh kegiatan tridarma dan dicopot dari jabatannya sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) pada 12 Juli 2024.

Andi menegaskan bahwa UGM terus mendampingi para korban dengan memberikan perlindungan, pemulihan, serta pemberdayaan sesuai kebutuhan mereka.

“UGM melalui Satgas PPKS UGM terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada korban sesuai dengan kebutuhan para korban,” katanya.

Meski sudah diberhentikan sebagai dosen, status EM sebagai guru besar belum otomatis dicabut. Hal ini, menurut Andi, menjadi wewenang Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

“Status guru besar itu diajukan kepada pemerintah, khususnya kementerian. SK-nya dikeluarkan oleh Kementerian. Jadi, kalau kemudian guru besarnya ingin dicabut, keputusannya juga harus dikeluarkan oleh kementerian,” ungkap Andi.

Ia menambahkan bahwa jabatan akademik seperti guru besar tidak bisa dicabut oleh universitas secara langsung, berbeda dengan jenjang lektor atau asisten ahli yang menjadi kewenangan internal kampus.

UGM menegaskan komitmennya menciptakan lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual. Langkah nyata telah dilakukan sejak 2022 melalui pembentukan Satgas PPKS dan penyusunan kebijakan internal yang sejalan dengan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

“Berbagai kebijakan yang disusun, diterapkan, dan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip bahwa kampus idealnya adalah ruang yang kondusif dan aman dari berbagai praktik kekerasan,” tutup Andi.

Read Entire Article
Bekasi ekspress| | | |