Pewarta Network
Rabu, April 16, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ilustrasi - Komunikasi pada anak autisme. (Dok. Alomedika). |
PEWARTA.CO.ID - Autisme atau gangguan spektrum autistik (GSA) masih menjadi salah satu kondisi neurodevelopmental yang kompleks dan kerap membingungkan banyak orang tua. Dalam sebuah webinar yang dipantau dari Jakarta, Selasa (15/4/2025), dokter spesialis anak subspesialis neurologi, dr. Amanda Soebadi, Sp.A (K), M.Med, mengungkap bahwa faktor genetik merupakan penyumbang utama dalam risiko terjadinya autisme pada anak.
“Faktor genetik ini memang ternyata memegang peranan penting pada risiko relative autism (autisme level tiga atau berat),” ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tersebut.
Dr. Amanda menjelaskan bahwa anak-anak yang memiliki saudara kandung dari ayah dan ibu yang sama dengan autisme, berisiko sembilan kali lebih besar mengalami kondisi serupa dibandingkan anak tanpa riwayat keluarga autisme.
Risiko tersebut meningkat drastis terutama bila sang saudara mengalami autisme berat atau autisme level tiga. Sementara untuk anak-anak dengan saudara tiri (hanya satu orangtua yang sama), potensi mengalami autisme tetap tinggi, yaitu lima hingga sebelas kali lipat dari populasi umum.
“Kalau dia hanya half sibling artinya sama ayah beda ibu atau sama ibu beda ayah tetap saja risiko dia meningkat 5 hingga 11 kali lipat,” katanya.
Lebih lanjut, dr. Amanda juga menuturkan bahwa adanya sepupu yang terdiagnosis autisme turut meningkatkan risiko anak mengembangkan gangguan tersebut sebanyak dua kali lipat dibanding anak tanpa riwayat keluarga autisme sama sekali.
Meski genetik memegang peran penting, banyak anggapan keliru di masyarakat yang cenderung menyalahkan pola asuh orangtua sebagai penyebab utama autisme. Dr. Amanda mengingatkan bahwa hingga kini belum ada penelitian yang mampu mengukur keterkaitan langsung antara gaya pengasuhan dengan risiko autisme.
“Memberi nilai parenting satu ke itu sangat sulit dan parenting style pada anak dengan karakteristik berbeda itu tidak sama,” ujarnya pula.
Ia mengungkap bahwa pada banyak kasus, orangtua dengan anak autistik cenderung menggunakan pola asuh yang lebih mengatur (direktif), misalnya dengan memberikan instruksi berurutan tanpa ruang negosiasi. Contohnya, meminta anak mandi setelah pulang sekolah lalu langsung menyuruh melakukan tugas lainnya.
Berbeda dengan pola asuh responsif, yang melibatkan komunikasi dua arah, diskusi, dan pertimbangan terhadap inisiatif dari anak. Namun demikian, belum dapat dipastikan apakah pola asuh direktif menjadi pemicu munculnya autisme, atau justru karakteristik anak autistik yang mendorong orangtua memilih pendekatan tersebut.