Nimas Taurina
Rabu, Mei 28, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Ilustrasi - Ibadah haji di tanah suci, Makkah Al-Mukarromah. (Dok. Liputan6.com). |
PEWARTA.CO.ID - Bagi umat Islam, ibadah haji dan umrah merupakan dua bentuk penghambaan istimewa yang hanya bisa dilakukan di tanah suci, Makkah Al-Mukarromah. Keduanya memiliki keutamaan luar biasa, seperti disampaikan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA.
“Umrah ke umrah yang berikutnya adalah menjadi penutup dosa dalam waktu antara dua kali umrahan itu, sedang haji mabrur, maka tidak ada balasan bagi yang melakukannya itu melainkan surga.” (Muttafaq ‘alaih).
Namun, pertanyaan yang sering muncul di kalangan umat adalah: mana yang sebaiknya didahulukan, haji atau umrah? Dalam sebuah kajian yang diunggah di kanal YouTube Jejak Wali pada Senin (26/5/2025), Ustadz Adi Hidayat (UAH) memberikan penjelasan yang sangat gamblang.
Menurut UAH, jika seseorang memiliki kemampuan secara fisik dan finansial, maka ibadah haji sebaiknya menjadi prioritas utama. Alasannya, dalam praktiknya, jamaah haji secara otomatis juga akan menjalani ibadah umrah melalui manasik haji tamattu’.
“Apalagi program kita yang difasilitasi Depag dari pemerintah, datang ke Makkah itu umumnya (haji) tamattu’. Apa itu tamattu’? Umrah dulu baru haji. Jadi, setiap yang (ibadah) haji, punya kesempatan umrah,” terang UAH.
Sebaliknya, mereka yang melaksanakan umrah belum tentu akan mendapat kesempatan untuk berhaji, sebab ibadah haji hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu, yaitu di bulan Dzulhijjah. Di luar bulan itu, niat berhaji tidak sah menurut syariat.
“Kalau Anda umrah di selain waktu (Dzulhijjah) itu, haji tidak bisa. Saya niat haji di bulan Rajab, gak bisa. Jadi kalau ingin dahulukan, dahulukan yang haji baru umrah,” jelasnya.
Lebih lanjut, UAH menekankan bahwa niat dalam berhaji harus dilandasi ketakwaan, bukan sekadar untuk mencari status sosial di tengah masyarakat.
“Kalau mau berhaji, niatnya untuk meningkatkan taqwa, taat kepada Allah, bukan untuk merubah status. Statusnya tetap, karena ibadah tidak memberikan gelar,” ujar UAH.
Ia juga mengingatkan bahwa dalam Islam, ibadah terbagi menjadi tiga jenis: ibadah fisik seperti salat, ibadah harta seperti zakat dan infak, serta ibadah yang menggabungkan fisik dan harta, yaitu haji. Maka dari itu, haji dianggap sebagai puncak ibadah karena memerlukan kekuatan jasmani dan finansial sekaligus.
“Haji menggabungkan keduanya, harta dan fisik. Mustahil bisa haji kalau tidak ada harta untuk berangkat. Mustahil bisa tawaf kalau tak ada kemampuan fisik. Bayangkan, sholat saja pahalanya banyak, zakat pahalanya banyak, apalagi (haji) menggabungkan harta dan fisik,” pungkasnya.