Redaksi Pewarta.co.id
Senin, Juni 09, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah dilarang memberi tugas PR kepada siswa di luar jam belajar formal. (Foto: Dok. Kolase Pewarta.co.id) |
PEWARTA.CO.ID — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, secara tegas melarang seluruh sekolah di wilayahnya memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada siswa.
Kebijakan ini tidak hanya memicu sorotan publik, tetapi juga menggugah perdebatan seputar esensi pendidikan modern.
Menurut Dedi, keputusan ini diambil demi menjaga keseimbangan antara pendidikan akademik dan kehidupan pribadi anak.
Ia menilai rumah seharusnya menjadi ruang untuk membangun karakter, bukan perpanjangan tekanan dari ruang kelas.
“Di rumah itu anak-anak rileks, baca buku, olahraga, fokus membantu kedua orang tuanya, meringankan beban-beban pekerjaannya,” ujar Kang Dedi Mulyadi (KDM), panggilan akrabnya, dalam unggahan videonya di TikTok, Jumat (6/6/2025).
Dengan kebijakan ini, seluruh bentuk tugas pembelajaran, baik latihan soal maupun proyek akademik, harus selesai saat jam pelajaran berlangsung. Anak-anak tidak lagi dibebani pekerjaan sekolah di luar waktu belajar formal.
Langkah ini mendapat dukungan sebagian kalangan yang menilai pendidikan tidak boleh mengorbankan waktu berharga anak bersama keluarga.
Namun, tak sedikit pula yang mempertanyakan bagaimana efektivitas pembelajaran dapat dipertahankan jika PR dihilangkan sepenuhnya.
Kang Dedi menekankan bahwa setelah pulang sekolah, anak-anak bisa belajar banyak hal yang tak kalah penting, seperti mengerjakan pekerjaan rumah tangga, memasak, mencuci piring, hingga mengepel. Bukan sebagai beban, melainkan sebagai pendidikan karakter.
“Ini adalah arah membangun anak-anak Jawa Barat, yang memiliki visi dan orientasi yang kokoh untuk masa depannya, membentuk anak-anak Jawa Barat yang cageur, bageur, bener, pinter jeung singer,” ujarnya.
Tak hanya PR yang dihapus, Pemprov Jabar juga menetapkan perubahan jam masuk sekolah menjadi pukul 06.30 WIB. Tujuannya adalah menanamkan disiplin dan efisiensi waktu sejak dini.
Dengan jam masuk yang lebih pagi, waktu belajar di sekolah bisa lebih panjang dan produktif. Anak-anak pun dapat menyelesaikan seluruh tugas akademik di sekolah tanpa harus membawa pulang pekerjaan tambahan ke rumah.
Kebijakan ini sekaligus memperkuat fokus Pemprov Jabar pada pendidikan holistik yang menyeimbangkan kecerdasan intelektual dan emosional anak.
Sebagai bentuk perlindungan sosial dan upaya menciptakan lingkungan yang aman bagi generasi muda, Pemprov Jabar juga menetapkan jam malam untuk anak-anak.
Mereka tidak diperkenankan keluar rumah setelah pukul 21.00 WIB, kecuali didampingi orang tua dan dengan alasan mendesak.
Langkah ini diambil untuk membatasi anak-anak dari potensi bahaya di malam hari, serta mendorong mereka menghabiskan waktu malam di rumah bersama keluarga atau mengembangkan minat pribadi di lingkungan yang aman.
Kebijakan Dedi Mulyadi ini merepresentasikan perubahan paradigma pendidikan. Bahwa pendidikan tidak hanya soal prestasi akademik dan nilai ujian, tetapi juga soal membentuk manusia seutuhnya yang seimbang secara mental, sosial, dan emosional.
Meski menuai pro dan kontra, keputusan ini menunjukkan visi besar Pemprov Jabar dalam membangun generasi muda yang bukan hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mandiri, bertanggung jawab, dan berdaya secara sosial.
Transformasi ini menjadi sinyal bahwa masa depan dunia pendidikan Indonesia tengah bergeser. Dari yang dulu berorientasi pada tekanan dan beban, menuju sistem yang lebih manusiawi dan membumi.
“Rumah bukan kelas tambahan. Rumah adalah tempat anak mengenal hidup, bukan sekadar menyelesaikan soal,” demikian pesan tersirat dari langkah berani Kang Dedi Mulyadi.
Kini publik menanti, apakah gebrakan ini akan menjadi model bagi provinsi lain, atau justru menjadi polemik berkepanjangan di tengah kebutuhan akan reformasi pendidikan nasional.