Nimas Taurina
Sabtu, September 13, 2025
Perkecil teks Perbesar teks
![]() |
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono. (Dok. OKEZONE). |
PEWARTA.CO.ID — Pemerintah mengambil langkah tegas dalam melindungi petani lokal. Presiden Prabowo Subianto melalui arahan langsung kepada Kementerian Pertanian menghentikan impor jagung dan gula industri, sekaligus menyiapkan anggaran khusus untuk menyerap gula petani yang menumpuk di gudang akibat tak terserap pasar.
Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, menegaskan bahwa kebijakan ini lahir dari kondisi nyata di lapangan.
“Negara hadir membantu petani. Kita sudah putuskan bahwa sekarang produktivitas jagung kita sudah tinggi, sehingga tidak akan ada lagi importasi jagung dan gula industri. Realisasinya sudah sekitar 70 persen, dan keputusannya adalah kita stop dulu supaya produksi dalam negeri bisa terserap dengan baik,” ujarnya usai rapat terbatas di Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Jakarta, Jumat (12/9/2025).
Sudaryono menjelaskan saat ini Indonesia mengalami surplus gula hingga 1 juta ton. Walaupun opsi ekspor terbuka, pemerintah menekankan bahwa penyerapan di dalam negeri tetap prioritas.
“Kalau bisa terserap dalam negeri, tentu itu prioritas. Untuk jagung pakan misalnya, serapannya harus sepenuhnya dari petani kita. Begitu juga gula, harus dioptimalkan penyerapan dari produksi dalam negeri,” jelasnya.
Ia mencontohkan, kebutuhan jagung untuk industri pakan ternak sebenarnya bisa dipenuhi oleh produksi lokal. Namun, diperlukan proses hilirisasi agar hasil panen petani sesuai dengan standar industri.
“Sekitar 600 ribu ton kebutuhan jagung industri itu sebenarnya bisa kita substitusi dari panen petani kita. Tentu saja harus ada industri intermediate yang mengolah hasil panen itu agar sesuai dengan requirement industri,” paparnya.
Meski surplus tercapai, Sudaryono mengingatkan soal persoalan lain di lapangan, yakni kebocoran gula rafinasi ke pasar tradisional. Padahal, gula jenis ini hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman.
“Kalau gula rafinasi bocor ke pasar, harganya jauh lebih murah daripada gula konsumsi dari tebu petani. Dampaknya, serapan gula petani macet hingga seratus ribu ton. Ini jelas merugikan petani dan merupakan bentuk kejahatan yang harus ditindak tegas, baik pedagang maupun perusahaan yang terlibat,” tegasnya.
Akibat praktik curang tersebut, harga gula petani anjlok di bawah Harga Acuan Penjualan (HAP) Rp14.500 per kilogram, seperti yang terjadi di Pabrik Gula Assembagoes, Situbondo, Jawa Timur, di mana ribuan ton gula petani menumpuk tak terjual.
Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah menyiapkan Rp1,5 triliun melalui Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara Indonesia) guna menyerap gula petani. Skema ini meniru pola Bulog dalam menjaga harga gabah, yakni membeli produk yang tidak terserap pasar agar harga tetap stabil.
“Negara hadir membantu gula yang tidak diserap pasar. Sama seperti gabah, bukan berarti semua dibeli pemerintah, tapi yang tidak terserap pasar, negara hadir membeli agar harga dan kesejahteraan petani tetap terjaga,” kata Sudaryono.
Ia menambahkan, jika anggaran yang disiapkan masih kurang, pemerintah siap mengajukan tambahan. “Prakteknya, gula yang sudah digiling menumpuk di gudang karena tidak dibeli, harganya turun. Itu kasihan petani. Maka negara hadir membeli di harga acuan, sehingga semangat petani tetap terjaga,” imbuhnya.
Sudaryono menegaskan, kebijakan ini sejalan dengan visi Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan swasembada pangan nasional. Pemerintah menargetkan tidak ada impor beras, jagung, maupun gula konsumsi pada tahun ini. Untuk gula industri, kebutuhan diharapkan bisa dipenuhi secara bertahap dari dalam negeri dalam beberapa tahun mendatang.
“Kalau produksi dalam negeri naik, otomatis PDB ikut naik, perputaran ekonomi terjadi, dan kesejahteraan rakyat meningkat. Itu arah kebijakan Presiden, yaitu menekan impor, mengutamakan produksi nasional, dan menghadirkan negara di tengah petani,” pungkasnya.